GEREJA DI TENGAH ARUS MODERNISASI

  Oleh : Pio odiliano
         
      


      Gereja diibaratkan sebagai kapal yang terombang-ambing, selalu dihantam badai ombak terus-menerus. Pada abad ke -21 yang berada pada industri 4,0 ini, manusia sudah mengalami perubahan dan perkembangan yang begitu pesat. Berbagai alat teknologi canggih dan informasi sudah memadai dan memenuhi kebutuhan manusia. Pada era inilah yang disebut modernisasi. Manusia tidak lagi bekerja secara manual atau secara tradisional, tetapi dengan hadirnya teknologi ini dapat meringankan dan secara instan memenuhi aspek kehidupan manusia. Selain itu pola pikir dan mentalitas juga mengalami perubahan mendasar di dalam masyarakat. Demikian juga dengan Gereja, Gereja senantiasa selalu membaharui diri dan terbuka terhadap perkembangan zaman. Namun Gereja masih mempertahankan tradisi lama dengan ajaran-ajarannya yang masih berdiri kokoh sampai saat ini. Kendatipun, banyak orang yang bertopeng agama berseberangan dan menentang ajaran-ajaran Gereja. Seperti para pemikir-pemikir atau para teolog bandel yang sebenarnya adalah tokoh-tokoh yang berperan penting dalam Gereja. Tokoh-tokoh yang paling vokal menentang ajaran-ajaran Gereja seperti Charles Curran, Tisa Balasuriya,Anthony de Mello, Jacques Dupuis, dan Roger Haight. Mereka menganggap bahwa Gereja adalah suatu hal yang kolot karena emoh pada modernitas, ketinggalan zaman, tidak membaca tanda-tanda zaman, dan ajaran-ajaran Gereja yang bersifat kuno.
        Memang harus diakui bahwa pengaruh filsafat modern yang memuja personalisme memberi dampak paling signifikan untuk sebuah penghayatan sebagai bagian dari komunitas. Kecendrungan untuk membangun jati diri lewat komunitas minor begitu menjamur.  Adapun serangan-serangan lain oleh para pemikir ini ialah ajaran kontrasepsi, euthanasia, masturbasi, homoseksual, lesbian, dan aborsi. Mereka tetap bersikukuh melawan ajaran-ajaran Gereja yang menolak tindakan-tindakan demikian. Karena hal tersebut mengenai kebebasan seseorang yang sejatinya tidak asing lagi bagi masyarakat yang  hidup di era modern, bahkan tindakan-tindakan seperti itu marak terjadi dan sudah dianggap biasa. Namun Gereja masih menolaknya dan bahkan melarang umat beriman untuk tidak melakukan hal-hal tersebut, karena tidak sesuai dengan ajaran moral Kristiani. Para pemikir seperti ini, belum memahami secara mendalam tentang ajaran Gereja, kenapa  hal-hal tersebut sangat dilarang. Salah satunya yang tekenal dalam draf skema 13 oleh Bernard Haring, melahirkan Humanae Vitae (1968). Yang ditolak adalah kondom dan hubungan terputus yang bersifat kontraseptif. Pokok-pokok  gagasan dalam ajaran tersebut adalah (1) kesucian hidup manusia, (2) seksualitas manusia adalah nilai berharga dalam perkawinan, (4) mentalitas kontraseprif yang egois dan tidak bertanggung jawab adalah keliru, dan (5) adanya fakta penolakan dalam menerima martabat manusiawi dalam banyak bidang kehidupan khususnya perkawinan.  Semua gagasan pokok ini bertolak ukur pada martabat manusia itu sendiri. Bahwasannya, dengan melakukan tindakan demikian tidak lagi mencintai martabatnya sebagai manusia dan Tuhan sebagai ciptaan-Nya yang luhur. Namun martabat itu sudah menjadi noda kental yang tidak lagi menjaga eksistensi mereka sebagai manusia. Mereka sudah tergerus oleh arus modernisasi yang siap dilahap kapan dan dimanapun itu. Para pemikir seperti ini, yang membuat masa depan Gereja hancur tiada artinya. 
          Tak hanya itu, kaum fundamentalisme juga melakukan serangan terhadap ajaran resmi Gereja Katolik. Fundamentalisme sebetulnya suatu aliran yang memisahkan diri dari Prostentatisme. Aliran ini muncul sebagai reaksi terhadap Prostentasisme Amerika yang cenderung ke arah liberal. Mereka selalu dan dimana saja tetap pada pendirian kaku mereka bahwa Kitab Suci adalah satu-satunya sumber kebenaran. Mereka memahami teks-teks Kitab Suci secara sangat harfiah, dan melihat semua yang tidak sesuai persis dengan apa yang tertulis dalam Kitab Suci sebagai sesuatu yang tidak benar, bahkan penghinaan terhadap Tuhan.  Adapun 13 serangan pokok oleh kaum fundamentalis terhadap Gereja Katolik, yaitu ajaran tentang Ilham Kitab Suci, tradisi suci dan tradisi manusia, perkembangan doktrin, keselamatan pembaptisan kanak-kanak, pengampunan dosa, Api Penyucian, Petrus dan Kepausan, infalibilitas Paus, Ekaristi, perayaan Misa, menghormati para kudus, dan kepercayaan mengenai Maria. Itu semua menjadi tantangan Gereja untuk menyikapi dan menjawab secara holistik terhadap kaum fundamentalis. Gereja masih berpegang teguh dengan ajarannya dan bersifat koservatif. Mengapa konservatif ? karena Gereja masih mempertahankan ajaran-ajarannya yang diwariskan sejak berabad-abad silam. Hal ini yang menjadikan Gereja Katolik sebagai Gereja historis. Bahwasannya, Gereja terbuka bagi siapa saja untuk masuk sebagai anggota di dalamnya, entah apapun motivasinya dan berkemauan bebas tanpa paksaan dari luar.
o Maka, konsistensi pada warisan-warisan historis inilah (sehingga disebut konservatif) yang menjadi eksotisme Gereja Katolik. Ajaran-ajaran resmi Gereja tampak seperti suara di tengah padang gurun: Sepi, sendiri, melawan arus, tidak populer, tidak menyenangkan semua pihak dengan berbagai motif mereka.  Itulah sebabnya Gereja masih bertahan dan tetap berdiri kokoh sampai sekarang di bawah bimbingan Roh Kudus. Gereja selalu meneguhkan umat beriman lewat pengajaran-pengajaran  secara resmi dari Gereja. Gereja tidak pernah diam untuk memenuhi setiap kebutuhan umat akan imannya. Gereja selalu  memberikan pelayanan-pelayanan kepada umat seperti pelayanan Sakramen-sakramen, katakese, bimbingan konseling, Ret-ret, dan sebagainya. Sehingga dapat menghantarkan mereka pada jalan kebenaran dan keselamatan.

Komentar