PENINGKATAN ASPEK SPIRITUALITAS SISWA SEMINARI ST. YOHANES PAULUS II LABUAN BAJO DAN PENGARUHNYA BAGI PERKEMBANGAN KEPRIBADIAN SISWA
KARYA ILMIAH
UNTUK MEMENUHI SYARAT KELULUSAN DI SMAK SEMINARI ST. YOHANES PAULUS II LABUAN BAJO
STEFANUS P. O. PANDANG
NISN
0038686913
SMAK SEMINARI MENENGAH ST. YOHANES PAULUS II, LABUAN BAJO
2021/2022
HALAMAN PENGESAHAN
Yang bertanda tangan dibawah ini adalah Kepala Sekolah dan Pembimbing Karya Ilmiah Siswa SMAK Seminari St. Yohanes Paulus II Labuan Bajo tahun ajaran 2021/2022, menerangkan bahwa:
Nama : Stefanus P. O. Pandang
NISN. : 0038686913
Program Peminatan. : Ilmu Pengetahuan Sosial
Telah menyelesaikan penulisan karya ilmiah sebagai salah satu syarat kelulusan di SMAK Seminari St. Yohanes Paulus II Labuan Bajo.
Pembimbing
Fr. Jean Loustar Jewadut S. Fil
Mengetahui:
Praeses Seminari Menengah St. Yohanes Paulus II Labuan Bajo
RD. Laurensius Sopang
Kepala SMAK Seminari St. Yohanes Paulus II Labuan Bajo
R RD. Kristoforus Ramlino S. Fil, M.Th, M. Pd.
KATA PENGANTAR
Tak ada kata dan kalimat yang terangkai begitu indah untuk dapat kulantunkan serta kumandangkan selain mengucapkan selimpah-limpahnya terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas segala rahmat, berkat, dan bimbingan-Nya, karya tulis ini yang berjudul “PENINGKATAN ASPEK SPIRITUALITAS SISWA SEMINARI ST. YOHANES PAULUS II LABUAN BAJO DAN PENGARUHNYA BAGI PERKEMBANGAN KEPRIBADIAN SISWA” dapat saya selesaikan sesuai dengan yang diharapkan dan tepat pada waktunya. Pembuatan karya ilmiah ini bertujuan untuk menyelesaikan pendidikan di SMAK Seminari St. Yohanes Paulus II Labuan Bajo. Penyusunan karya tulis ilmiah ini telah dilaksanakan sejak Agustus 2021 dan melibatkan banyak pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
Lembaga Pendidikan SMAK Seminari St. Yohanes Paulus II Labuan Bajo yang telah bersedia menjadi Rahim dari segi intelektual, mental, spiritual.
RD. Laurensius Sopang, selaku Praeses Seminari St. Yohanes Paulus II Labuan Bajo.
Fr. Jean L. Jewadut S.Fil. selaku pembimbing bagi penulis dalam menyelesaikan karya tulis ini.
Para Pembina dan Guru-guru SMAK Seminari St. Yohanes Paulus II Labuan Bajo yang telah membantu untuk menyukseskan penyelesaian karya tulis ilmiah ini.
RD. Aleksius S. Hiro dan Ibu Yuliana H. Kitung telah mendukung penulis dalam menyelesaikan karya tulis ini, khususnya “finansial” dan doa yang mereka berikan.
Saudari Inggrit Kitung dan saudara Efrem Budi Sutamin. Kalianlah teman sejati, pendengar setia yang senantiasa menemani hari-hari saya, entah suka maupun duka, serta penyemangat ketika saya sudah tak bersemangat, dan selalu menjadi penghibur dalam menjalani dan mewarnai hidup saya. Tanpa kalian saya hanyalah seorang yang tiada artinya.
Teman-teman angkatan 31/04 khususnya teman-teman XII IPS B yang selalu mendukung dan memotivasi penulis dalam menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.
Penulis,
Stefanus P. O. Pandang
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN ii
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI v
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 2
1.3 Tujuan 2
1.4 Metode Penulisan 2
1.5 Sistematika Penulisan 3
BAB II LANDASAN TEORI 4
2.1. Arti dan Makna Kehidupan Spiritual 4
2.1.1. Arti Kata Spiritual 4
2.1.1.1. Arti Etimologi 4
2.1.1.2. Menurut KBBI 4
2.1.2. Makna Kehidupan Spiritual 4
2.2. Panggilan kepada Pertumbuhan Spiritual 5
2.2.1. Kehendak Allah bagi Manusia 5
2.2.2. Manusia adalah Kemuliaan Allah 6
2.3. Rintangan dalam Pertumbuhan Spiritual Manusia 7
2.3.1. Dosa 7
2.3.1.1. Manusia 8
2.3.1.2. Setan 9
2.3.1.3. Dunia dan Masyarakat 11
2.4. Tahap-Tahap Pertumbuhan Spiritual Manusia 13
2.4.1. Purifikasi atau Pembersihan 13
2.4.2. Iluminasi atau Penerangan 16
2.4.3. Unifikasi atau Persekutuan 17
2.5. Kualitas Pertumbuhan Spiritual Manusia 20
2.5.1. Kualitas Manusiawi 20
2.5.2. Kualitas Ilahi 22
BAB III PEMBAHASAN 25
3.1. Peningkatan aspek spiritualitas siswa SMAK. Seminari St. Yohanes Paulus II Labuan Bajo 25
3.1.1. Mengenal dan menyelidiki motivasi 25
3.1.1.1 Mengenal motivasi sebagai tanggapan panggilan Tuhan 25
3.1.1.2 Menyelidiki motivasi 25
3.1.1.3 Meninjau kembali motivasi panggilan 28
3.1.2. Penyembuhan dan pembebasan dalam diri seminaris 29
3.1.2.1. Penyembuhan 29
3.1.2.2. Pembebasan 33
3.1.2.2.1. Membebaskan diri dan orang lain 33
3.1.2.2.2. Bebas dari penjara jiwa 35
3.1.3 Bimbingan dan latihan rohani 36
3.1.3.1 Bimbingan rohani 36
3.1.3.2 Latihan rohani 38
3.2 Pengaruh peningkatan aspek spiritualitas 39
3.2.1 Pengenalan diri dengan baik 39
3.2.1.1 Kesadaran diri dan intim dengan diri sendiri 39
3.2.1.2 Penerimaan diri 39
3.2.1.3 Bersatu dengan dirinya 40
3.2.2 Hubungan relasi dengan sesama dan Tuhan 40
3.2.3 Pengembangan rohani yang matang 42
BAB IV PENUTUP 43
4.1. Kesimpulan 43
4.2. Saran 44
DAFTAR PUSTAKA 45
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
“Ketahuilah saudara-saudari terkasih, bahwa kita semua sedang berada dalam perjalanan. Kita semua adalah peziarah dan wisatawan. Tetapi bersenanglah, sebab kita sudah diberikan seorang Guide, dan dia itu adalah Sabda yang menjelma, Putra Allah, yang mengajari kita jalan yang mesti kita lalui, jalan yang menerangi kita, yakni diri-Nya sendiri” (Surat 168).
Kehidupan manusia tidak semestinya berjalan sendiri. Manusia tentu membutuhkan orang lain dan Tuhan untuk menggerakkan kehidupannya. Relasi dengan sesama merupakan hubungan horizontal yang bersifat duniawi. Sedangkan hubungan Tuhan dengan manusia merupakan hubungan vertikal yang bersifat rohani. Manusia tidak terlepas dari kedua hubungan itu dan sudah melekat di dalam pribadi manusia. Namun, manakah kedua dari hubungan ini yang merupakan tujuan utama kehidupan manusia? Kutipan di atas, memberikan sebuah inspirasi tentang kehidupan spiritual manusia. Ia juga mengatakan bahwa manusia adalah peziarah sementara di dunia ini. Manusia dengan kehidupannya tidak akan berjalan dengan lancar, tanpa seorang Guide yaitu Yesus Kristus. Sebagai siswa Seminari St. Yohanes Paulus II, aspek spiritualitas sudah menjadi tuntutan dan melekat dalam jiwa seminaris. Seperti kegiatan rutinitas rohani yaitu doa, ibadat, perayaan Ekaristi, pengakuan dosa, rosario, dan bimbingan rohani atau konseling. Kegiatan-kegiatan rohani ini sudah menjadi rutinitas seminaris dalam hidup berkomunitas. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengembangkan karakter dalam diri seminaris, agar menjadi orang yang lebih baik dan berguna bagi sesama. Namun apakah kegiatan-kegiatan rohani ini, dapat menunjang kepribadian seminaris menjadi lebih baik? Tentu saja kegiatan-kegiatan rohani ini, belum memenuhi kebutuhan aspek spiritual dalam diri seminaris. Berdasarkan pengamatan penulis selama ini, masih ada seminaris yang melalaikan kegiatan-kegiatan rohani seperti tidak mengikuti misa atau ibadat bersama, terlambat dan ribut di dalam kapela, bahkan tidur di dalam kapela, serta kelalaian kegiatan-kegiatan rohani lainnya. Walaupun kelalaian kecil ini dapat dimaklumkan, karena setiap pribadi manusia memiliki kelemahan dan dosa. Tetapi jika kelalaian ini dilakukan terus-menerus dan tidak berubah, maka perlu ditelusuri lebih dalam mengenai kepribadiannya. Apakah kehidupan spiritualnya mengalami masalah? Atau apakah dalam diri seminaris belum siap menghadapi kehidupan spiritualnya dan masih bergantung pada orang lain dalam memenuhi kehidupan spiritualnya? Dan bisa saja kehidupan spiritualnya mencapai titik jenuh atau bosan. Itulah sebabnya mereka cenderung melakukan kesalahan yang sama, supaya bebas dari lingkungan Seminari St. Yohanes Paulus II Labuan Bajo. Berdasarkan persoalan-persoalan tersebut, penulis mau menilik lebih dalam lagi dan mencari jalan keluar persoalan-persoalan kehidupan spiritual seminaris. Oleh karena itu, penulis mau menawarkan upaya-upaya peningkatan aspek spiritualitas bagi kepribadian seminaris serta pengaruhnya terhadap kepribadian siswa. Upaya-upaya ini tidak dituntut secara paksa oleh penulis, tetapi tergantung pribadi masing-masing seminaris dalam menanggapinya. Upaya-upaya ini juga bebas untuk siapa saja, bukan hanya seminaris, tetapi untuk semua orang yang merasa perlu dalam peningkatan spiritualnya. Upaya-upaya yang ditawarkan penulis, pertama, mengenal dan menyelidiki motivasi pribadi. Kedua, perlunya penyembuhan dan pembebasan dalam diri seminaris. Dan terakhir, bimbingan dan latihan rohani bagi seminaris. Adapun pengaruh ketiga upaya tersebut bagi seminaris ialah pertama dapat mengenal diri dengan baik. Kedua, hubungan atau relasi dengan sesama dan Tuhan terjalin dengan baik. Dan terakhir, pengembangan rohani yang matang dalam diri seminaris. Atas dasar itu, penulis mau membuat sebuah karya tulis yang berjudul “Peningkatan Aspek Spiritualitas Siswa Seminari St. Yohanes Paulus Labuan Bajo dan Pengaruhnya bagi Perkembangan Kepribadian Siswa”. Semoga karya tulis ini, dapat bermanfaat dan dapat membuka cakrawala para pembaca terhadap kehidupan spiritualitas.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana meningkatkan aspek spiritualitas bagi siswa seminari St. Yohanes Paulus II LabuanBajo?
1.2.2. Apa pengaruh aspek spiritualitas bagi perkembangan kepribadian siswa seminari?
1.3 Tujuan
Untuk meningkatkan aspek spiritualitas bagi siswa seminari St. Yohanes Paulus II Labuan Bajo.
Untuk menjelaskan pengaruh aspek spiritualitas bagi perkembangan kepribadian siswa seminari.
1.3 Metode Penulisan
Penulisan karya tulis ini, penulis menggunakan metode kepustakaan dan internet sebagai bahan referensi penulisan.
1.4 Sistematika Penulisan
Untuk lebih mudah dipahami oleh para pembaca, maka penulis menuangkan penulisan karya tulisan ini dibagi menjadi empat bab sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN: Berisikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.
BAB II LANDASAN TEORI: Menjelaskan tentang arti dan makna kehidupan spiritual, panggilan kepada pertumbuhan spiritual, rintangan dalam pertumbuhan spiritual, tahap-tahap pertumbuhan spiritual, dan kualitas pertumbuhan spiritual manusia.
BAB III PEMBAHASAN:
Peningkatan aspek spiritualitas siswa seminari St. Yohanes Paulus II Labuan Bajo.
Pengaruh peningkatan aspek spiritual bagi perkembangan kepribadian siswa.
BAB IV PENUTUP: Berisikan penutup disertakan kesimpulan dan saran penulis kepada para pembaca.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Arti dan Makna Kehidupan Spiritual
2.1.1. Arti Kata Spiritual
2.1.1.1. Arti Etimologi
Secara etimologi kata “spirit” bahasa dari kata Latin “spiritus”, berarti “roh,jiwa, sukma, kesadaran diri, wujud tak berbadan, nafas, hidup, nyawa hidup.
2.1.1.2. Menurut KBBI
Spi-rit: Semangat, Jiwa; Sukma; roh.
Spi-ri-tu-al: Berhubungan dengan atau bersifat kejiwaan (Rohani, batin).
2.1.2. Makna Kehidupan Spiritual
Manusia tidak akan terlepas dengan namanya kematian, bahkan sudah melekat dalam diri manusia dalam ruang dan waktu. Manusia hanya menjadi penghuni sementara di dunia yang luas ini. Sebagai penghuni yang sementara ini, manusia ditugaskan untuk memelihara dan melestarikan alam dengan baik. Selain memelihara dan melestarikan alam, manusia juga berinteraksi dengan sesamanya yang lain. Manusia dengan kehidupannya, tidak terlepas dengan kehidupan duniawi. Bahwasannya, manusia hidup di bawah kepentingan materi yang tidak berdampak sama sekali pada tujuan kekal yaitu Surga. Hal ini perlu disadari oleh setiap manusia, bahwa kepenuhan-kepenuhan materi hanyalah bersifat sementara dan sia-sia. Segala perbuatan manusia dalam kehidupan ini menentukan nasib dalam kehidupan berikutnya. Oleh karena itu, janganlah berfokus pada hal-hal yang bersifat materi. Tetapi berfokuslah pada kehidupan yang bersifat kekal atau hidup dalam dunia spiritual terus-menerus. Kehidupan yang bersifat kekal itu seperti yang dikatakan oleh Yesus tentang mengasihi, yaitu mengasihi Bapa dengan sepenuh hati dan mengasihi sesama kita dengan tulus hati. Itulah kasih yang diwartakan oleh Yesus kepada kita untuk melaksanakannya demi tujuan kekal. Agar manusia pada saat setelah kematianya akan bersukacita bersama-Nya di Surga kelak. Jadi, itulah makna kehidupan spiritual yang sesungguhnya.
2.2. Panggilan kepada Pertumbuhan Spiritual
Pertumbuhan dan perkembangan merupakan kenyataan yang terjadi dalam setiap makhluk ciptaan Tuhan. Segala jenis tumbuh-tumbuhan seperti pohon besar atau kecil, pohon berbuah atau tidak berbuah, semuanya bertumbuh dan berkembang secara alami. Hewan-hewan dari berbagai jenis juga bertumbuh dan berkembang. Ada jenis-jenis hewan yang begitu lahir langsung bertahan dan mulai hidup otonom. Untuk hidup mereka mesti mencari makanan sendiri, namun ada juga jenis-jenis hewan yang mesti disuap dahulu dan diberi makanan oleh induknya sebelum mereka berdikari atau hidup mandiri. Seperti tumbuh-tumbuhan dan hewan, manusia juga mengikuti hukum alami yang sama. Manusia lahir dan hidup, bertumbuh dan berkembang sampai akhirnya mati. Hanya berbeda dengan tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewan, proses pertumbuhan dan perkembangan manusia pada umumnya berjalan begitu lambat. Sampai dengan saat kelahirannya, manusia secara normal harus berada dalam kandungan ibu selama sembilan bulan. Sesudah lahir, manusia yang sama itu tidak langsung otonom dan mandiri. Dia masih harus hidup bersama orang tuanya dan bersama dengan orang-orang lain selama bertahun-tahun sampai dia akhirnya bisa berdikari atau hidup mandiri. Dengan kenyataan ini, seluruh kehidupan makhluk ciptaan dan terutama manusia pada dasarnya merupakan pertumbuhan dan perkembangan.
2.2.1. Kehendak Allah bagi Manusia
Dalam bingkai spiritual, pertumbuhan dan perkembangan hidup manusia bukan saja merupakan kenyataan alami, tetapi merupakan panggilan Allah sendiri. Manusia bertumbuh dan berkembang bukan karena memang harus demikian menurut hakikatnya atau karena kehendak dan rencananya sendiri, melainkan karena kehendak dan rencana Allah, karena cinta dan panggilan Allah. Allah sesungguhnya menghendaki dan memanggil manusia untuk bertumbuh dan berkembang menuju kesempurnaan hidupnya di dalam diri Allah sendiri.Karena manusia mendapat tugas yang mulia dan tanggung jawab yang besar untuk memenuhi bumi dan menaklukkannya. Dewasa ini alam ciptaan kelihatan menjadi semakin kering kerontang, tandus, liar, dan gersang karena sikap spiritual manusia tidak ditata, diarahkan, dan diatur dengan baik. Tanpa sikap spiritual yang tepat, pandangan bahwa manusia itu imago Dei (gambar Allah) “menghasilkan pada manusia rasa superioritas dan transenden terhadap alam sedemikian rupa sehingga manusia dilihat sebagai penguasa alam, sedangkan alam hanya menjadi objek untuk kepentingan manusia.” Dengan kenyataan ini, manusia akan menjadi sangat rakus, buas, dan ganas dalam relasi dengan alam ciptaan, apabila pertumbuhan dan perkembangan spiritualnya tidak berjalan sehat dan seimbang sebagaimana mestinya menurut pola dan rencana Tuhan sendiri. Untuk menghindari hubungan yang tidak harmonis dengan alam semesta ini, manusia hendaknya menyadari makna sejati dirinya yang benar sebagai citra Allah atau gambar Allah. Sebagai citra Allah memang kepada manusia diberikan oleh Allah kekuasaan dan tanggung jawab untuk menguasai alam semesta dengan segala isinya. Namun, secara spiritual kekuasaan dan tanggung jawab dari Allah yang diberikan kepada manusia itu sama sekali tidak berarti bahwa manusia dapat sesuka hatinya melakukan eksploitasi atau manipulasi secara tak terbatas dan tak terkendali atas dunia atau lingkungan sekitarnya.
2.2.2. Manusia adalah Kemuliaan Allah
Manusia hidup untuk memuliakan Allah. Namun, manusia memuliakan Allah hanya dengan hidup, dengan bertumbuh dan berkembang dengan baik dalam keselarasan dengan lingkungan sekitarnya sesuai dengan kehendak Allah sendiri. Dengan kata-kata Bapa Suci, “hanya manusia, yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, mampu melambungkan madah pujian dan syukur kepada Sang Pencipta.Bumi, dengan segala makhluk ciptaan, dan seluruh alam semesta meminta manusia menjadi suara mereka.” Dalam peran ini, manusia tidak hanya memuji dan memuliakan Allah atas namanya sendiri, tetapi juga atas nama seluruh alam ciptaan lainnya. Dengan demikian, manusia yang bertumbuh dan berkembang dengan baik sesuai dengan bimbingan Roh Kudus “penyambung lidah dan penyambung suara” dari segenap ciptaan lain untuk bersama-sama dengan manusia sendiri memuji dan memuliakan Allah, dalam kehidupan bersama dan dalam kehidupannya masing-masing. Dengan kebenaran ini, manusia merupakan sebuah subjektivitas spiritual dan material sekaligus. Dia mampu membuat spritualisasi hal-hal material dan menjadikannya sebuah instrumen yang jinak dari energi-energi spiritualnya sendiri, yaitu energi-energi dari intelegensi dan kehendaknya. Pada waktu yang sama subjektivitas spiritualnya dapat memberikan sebuah dimensi spiritual kepada jiwa atau roh. Dengan kata lain, dia dapat membuat hal-hal spiritual menjelma dan menyejarah dalam kehidupan yang konkret. Pikirkan sebagai contoh misalnya, semua institusi intelektual, kesenian, dan teknik yang sudah menjadi ‘barang’ atau menjadi ekspresi-ekspresi konkret dan praktis dari orang-orang jenius yang terkandung pertama nian di dalam pikiran mereka.
2.3. Rintangan dalam Pertumbuhan Spiritual Manusia
Bertumbuh dan berkembang merupakan sebuah panggilan dan pilihan hidup yang pasti memiliki resiko. Menurut Padre Pio, “Kehidupan seorang Kristen bukanlah apa-apa, melainkan suatu perjuangan yang abadi melawan diri sendiri; tidak ada jiwa yang mekar menuju keindahan dari kesempurnaanya kecuali melalui penderitaan.” Untuk menghadapi, mengalami, dan menghayati proses pertumbuhan dan perkembangan hidup, manusia membutuhkan sebuah sikap responsif, sikap untuk menerima. Apapun yang dilakukannya, entah penderitaan, kebahagiaan, sedih, senang, harus berlangkah maju dan menerima segala resiko di dalam hidupnya. Dalam kenyataan, manusia barangkali atau orang-orang lain sering menjadi pohon ara yang tidak mau bertumbuh, tidak berbunga dan tidak berbuah (bdk. Mrk. 11:12-14). Manusia berhenti pada sebuah langkah kehidupan tanpa mau lagi berjalan lebih jauh. Manusia tidak mau menarik keuntungan dari perubahan bukan dengan berlangkah maju, tetapi dengan berlangkah mundur atau dengan tinggal di tempat. Spiritualitas manusia masih bersemangat kekanak-kanakan atau juga terlalu merasa rendah diri untuk melindungi penolakkan terhadap pertumbuhan. Pada titik ini hendaknya manusia sadar bahwa yang abadi di dunia ini bukanlah kehidupan yang tetap, melainkan kehidupan yang berubah, bertumbuh, dan berkembang. Selama hidup, “Kemanusiaan tidak pernah tetap; ia maju atau mundur.” Dengan ini manusia tidak hanya mesti berubah, bertumbuh, dan berkembang. Tetapi mesti menerima diri dan menyertai, mengejar dan mengikuti setiap perubahan, pertumbuhan, dan perkembangan.Manusia adalah makhluk yang berubah dan diubah pada suatu waktu tanpa konsultasi dengan kita. Dalam pengalaman sehari-hari ada beberapa jenis rintangan yang pada umumnya menyulitkan pertumbuhan spiritual manusia.
2.3.1. Dosa
Dosa adalah sebuah sikap bermusuhan dengan Allah dan dengan kehendak-Nya. Dengan berdosa manusia melawan otoritas Allah, dan dengan melawan Allah manusia juga sering melawan diri sendiri dan menentang sesama manusia. Ada beberapa klasifikasi dosa yang dilakukan oleh manusia. Ada dosa-dosa pokok yang merupakan sumber dari dosa-dosa lain, seperti kesombongan, iri hati, marah, tamak, rakus, malas dan lesu, nafsu liar, cabul dan kikir. Ada dosa-dosa melawan Roh Kudus. Dosa jenis ini merupakan dosa penolakan terhadap sarana keselamatan dan menganggap pengampunan atas dosa itu suatu hal yang mustahil. Ada beberapa contoh dosa melawan Roh Kudus misalnya sikap putus asa karena tidak percaya pada belas kasih dan kerahiman Allah; berkanjang dalam dosa karena sikap praduga bahwa Allah toh akan mengampuni dosa, sikap dengki, iri hati, dan cemburu terhadap anugerah yang diterima oleh orang lain. Di sini, seseorang tidak menerima penyelenggaraan Allah yang bebas memberikan anugerah-Nya, sikap melawan kebenaran yang pasti, tidak menerima kebenaran iman, menjelaskan-Nya secara salah atau menghina serta menertawakan inti iman yang dipercayakan, menolak rahmat terus-menerus dan bersikap sinis terhadap segala kebenaran yang diajarkan meskipun mengerti isinya, penolakan akhir untuk bertobat pada saat kematian. Ada jenis dosa yaitu dosa ringan dan dan dosa berat. ”dosa ringan membiarkan kasih tetap ada, walaupun ia telah melanggarnya.”“Dosa berat merusakkan kasih di dalam hati manusia oleh satu pelanggaran berat melawan hukum Allah. Di dalamnya manusia memalingkan diri dari Allah, tujuan akhir dan kebahagiaannya dan menggantikannya dengan sesuatu yang lebih rendah.” Kehidupan di bumi hanyalah gladi bersih sebelum pelaksanaan yang sesungguhnya. Pelaksanaan yang sesungguhnya ialah kekekalan setelah kematian manusia. Bumi hanyalah daerah persiapan dan tempat uji coba bagi kehidupan manusia. Sering kali manusia menyia-nyiakan waktunya demi kepentingan duniawi. Manusia tidak melihat peluang yang ada di bumi untuk berbuat baik kepada sesama. Kehidupan di bumi menawarkan banyak pilihan, pilihan untuk bergaya hidup, bebas, bertindak semaunya, dan sebagainya. Tetapi kekekalan hanya menawarkan dua pilihan yaitu surga atau neraka. Hubungan manusia dengan Allah di bumi akan menentukan hubungannya dengan Allah di dalam kekekalan. Jika manusia belajar mengasihi dan mempercayai Anak Allah, Yesus, manusia diundang untuk menghabiskan kekekalannya bersama Allah. Sebaliknya, jika manusia menolak kasih, pengampunan dan keselamatan-Nya, manusia akan menghabiskan kekekalanya terpisah dari Allah selamanya. Ada beberapa sebab-sebab terjadinya dosa:
2.3.1.1. Manusia
Pada umumnya ada dua hal dalam diri manusia yang sering menyebabkan dosa. Kedua hal itu adalah prinsip-prinsip yang salah atau keliru dan ignoranza (sikap masa bodoh). Pertama, Prinsip yang salah dapat terjadi karena penafsiran yang keliru atas Sabda dan misi Tuhan Yesus. Tuhan Yesus misalnya datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa (bdk. Mat. 9: 13), atau “di mana dosa bertumbuh banyak, di sana kasih karunia menjadi berlimpah-limpah” (Rm. 5:20). Manusia bersalah dalam hal ini apabila manusia terus-menerus berbuat dosa, sebab dengan itu Tuhan memanggil manusia dan rahmat-Nya terus-menerus melimpah atas diri dan hidup manusia. Pada kesempatan yang sama Tuhan Yesus mengatakan: “Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit” (Mat. 9:12). Manusia berdosa apabila berdasarkan sabda Tuhan ini bahwa lebih baik menjadi orang sakit daripada orang sehat, supaya Tuhan Yesus tetap datang menolong kita. Orang yang memiliki dan menghayati prinsip ini tentu akan mengabaikan kesehatan hidup, kebersihan diri, dan kebersihan lingkungannya. Atau juga manusia mengatakan bahwa panggilan Religius itu adalah urusan saya dengan Tuhan. Sebab itu tak seorang pun boleh mencampuri urusan panggilan saya. Inilah satu dua contoh prinsip yang salah atau keliru. Pada titik ini, manusia sesungguhnya tidak jahat. Apabila manusia tidak memiliki penafsiran, pikiran, atau konsep yang salah atau keliru dalam hidup. Namun, karena pikiran dan kehendak manusia sering kali salah, serta pandangan dan konsep keliru, maka manusia merupakan sumber kejahatan bagi diri, bagi sesama dan bagi lingkungan hidup di sekitarnya. Kedua ialah sikap masa bodoh atau ignoranza, memiliki beberapa bentuk. Bentuk pertama ialah Nescientia veri et falsi. Dalam bentuk ini manusia tidak tahu membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Manusia tidak tahu membedakan mana karya Tuhan, mana karya alami manusia dan mana karya setan. Manusia mengikuti saja bimbingan firasat, akal budi, dan perasaanya sendiri. Yang sesuai dengan firasatnya, perasaan dan akal budinya, itulah yang benar baginya. Kebenaran merupakan hal ihwal yang sangat subjektif. Bentuk kedua ialah nescientia boni et mali. Dalam bentuk ini manusia tidak tahu membedakan antara hal yang baik dan hal yang buruk. Bagi orang seperti ini, membunuh orang lain, misalnya, tidak apa-apa, karena dia mau membela diri dengan itu. Daripada saya yang mati, lebih baik saya mematikan dia lebih dahulu sebelum dialah yang menghabiskan nyawa saya. Orang seperti ini juga tidak dapat memisahkan antara tujuan dan sarana untuk mencapai tujuan itu. Akibatnya, manusia menghalalkan segala cara untuk mecapai tujuan. Pencurian atau korupsi dibenarkan karena uang curian atau korupsi itu bukan untuk diri sendiri, tetapi untuk orang-orang yang miskin dan menderita. Bentuk ketiga ialah nescientia commode et noxi. Di sini manusia tidak tahu membedakan antara hal yang berguna dan hal yang merusak. Bagi dia, hal sesungguhnya merusak, sebut saja misalnya merokok atau minum alkohol, dapat berubah menjadi hal yang baik dan menyenangkan. Bermain game sampai larut malam bukan hal yang buruk. Orang yang menghayati prinsip ini tidak mempedulikan kebutuhan hidupnya untuk istirahat. Istirahat dikorbankan atau dinomorduakan bagi kesenangan bermain game. Dalam kesatuan arti dengan ini orang juga tidak tahu membedakan dan tidak tahu membuat gradasi nilai, antara hal yang utama dan hal yang sampingan, hal penting dan hal tambahan. Bagi orang seperti ini semua perkara seakan-akan seluruhnya penting atau sama penting.
2.3.1.2. Setan
Di dalam iman, orang Kristen mengakui adanya “Dunia roh”, roh yang baik dan roh yang jahat. Roh yang baik “Membuat manusia menyadari kejahatannya sendiri dan pada saat yang sama mengarahkan manusia pada hal yang baik.” Dalam kesatuan dengan suara hati, roh yang baik selalu menyerukan kepada manusia suatu perintah atau hukum asasi “Untuk mencintai dan melaksanakan apa yang baik, dan untuk menghindari apa yang jahat.” Sebaliknya, roh yang jahat selalu “Mendorong manusia ke kejahatan dan membuatnya tak berdaya untuk memilih apa yang baik.” Di dalam Kitab Suci dan Tradisi Gereja, roh yang jahat disebut dengan sebuah nama umum, yaitu iblis atau setan. Iblis atau setan itu turut menyebabkan dosa, karena memang pada dasarnya “Setan adalah ‘pendosa dari mulanya’ (1Yoh. 3:8), ‘bapa segala dusta’ (Yoh. 8:44). Ia adalah pembunuh manusia sejak semula dan tidak hidup dalam kebenaran, di dalam dia tidak ada kebenaran. Apabila ia berkata dusta, ia berkata atas kehendaknya sendiri, sebab ia adalah pendusta dan bapa segala dusta” (Yoh. 8:44). Menurut Rasul Paulus, setan itu adalah penggoda (bdk. 1 Tes. 3:5). Ia merupakan penuduh, lawan utama, oposisi, atau musuh utama dari manusia dan bagi manusia. Dalam kehidupan manusia, ia selalu bertindak melawan yang baik. Dalam pengalaman sehari-hari, ada beberapa bentuk kegiatan setan yang memicu terjadinya dosa dalam kehidupan manusia. Pertama, setan itu memutarbalikkan kenyataan atau kebenaran. Setan selalu menunjukkan atau menambahkan sesuatu yang lain. Yang kurang setan tambahkan, yang lebih ia kurangkan. Setan suka menambahkan hal-hal yang tidak perlu, hal yang tidak semestinya ada. Kedua, setan itu membuat sikap manusia membangkang atau melawan Tuhan. Dengan sikap melawan atau membangkang, setan itu menciptakan permusuhan dan pertentangan, perkelahian dan peperangan, perpisahan dan perpecahan dalam kehidupan bersama. Setan menyebabkan manusia tidak pernah setuju atau sejalan dengan orang lain. Oleh pengaruh setan, manusia selalu mau bersikap lain, mau tampil beda dengan orang-orang lain. Setan membuat manusia tidak bersikap apa adanya dan tidak berlaku seperti sebagaimana semestinya. Budaya topeng, budaya sandiwara, dan budaya rekayasa, merupakan buah karya setan dalam hidup manusia. Dengan budaya ini, semua manusia menjadi pembohong dan atau sekurang-kurangnya memiliki potensi dan memiliki kecendrungan untuk menipu. Ketiga, setan itu pada dasarnya suka menyamar. Setan pandai menyamar, pandai menyelinap, dan pandai mengelabui dengan setiap orang, dengan setiap benda hidup atau benda mati serta dengan setiap lingkungan di sekitarnya. Setan menyamar dalam bentuk apa saja seperti ular (bdk. Kej.3:1-19) atau babi misalnya (bdk. Mat 8:28-34). Setan juga masuk dan menyatu dengan diri manusia, sehingga dalam kehidupan bersama biasanya menemukan misalnya orang-orang yang kerasukan setan (bdk.Luk. 8:27). Tanda-tanda orang yang kerasukan setan itu biasanya ganjil atau aneh, gila atau bermacam-macam tingkahnya seperti misalnya tidak berpakaian, tidak tinggal dalam rumah, berteriak di jalan, kaku-kejang, mulut terkancing atau berbusah, berbicara sembarang, adakalanya juga memaki-maki, berjalan tidak tentu arah, mengumpulkan sampah-sampah atau kotoran-kotoran, dan sebagainya. Kehadiran dan pengaruh setan dengan sifatnya ini menjadi persoalan besar bagi manusia dan menyebabkan manusia dengan mudah jatuh ke dalam dosa, karena setan itu menyamar tidak hanya dalam hal-hal yang seram, namun juga dalam hal-hal yang dengan sendirinya menakutkan dan menjijikkan manusia. Untuk menghadapi godaan seperti ini, manusia tidak cukup hanya mengandalkan kekuatan sendiri. Kekuatan sendiri, entah kekuatan fisik maupun kekuatan psikis tidak cukup mampu untuk mengalahkan bujukan setan yang menawan dan menggiurkan. Tetapi, senjata yang paling ampuh untuk mengalahkan setan ialah dengan doa. Dengan ini jelas bahwa oleh doa dan dengan doa, “Kekuasaan setan bukan tanpa batas. Ia hanya ciptaan belaka. Walaupun kuat, karena ia adalah roh murni, namun ia tetap saja makhluk: ia tidak dapat menghindarkan (Atau menghalangi) pembangunan kerajaan Allah” dalam kehidupan manusia. Sebab itu berhadapan dengan pikiran yang jahat atau dorongan dan keinginan buruk yang tersembunyi karena pengaruh setan, “berdoalah supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan” (Luk. 22:40). Dalam doa dan dengan doa, Tuhan sendiri akan membantu manusia untuk membinasakan godaan-godaan setan yang datang mengganggu manusia dan perbuatan-perbuatannya yang merasuki kehidupan manusia. Dengan tidak berdoa, manusia membiarkan setan datang menyerang dan membinasakan manusia. Tetapi dengan berdoa, manusia dalam kesatuan dengan Tuhan berbalik menyerang setan dan membinasakannya.
2.3.1.3. Dunia dan Masyarakat
Dalam Kitab Suci, dunia dan masyarakat merupakan sebuah realitas yang kompleks. Kadangkala dunia dan masyarakat itu merupakan dunia setan dan dunia kegelapan yang bertentangan dengan dunia terang. Dalam kehidupan di dunia yang penuh dengan perjuangan ini, “Keinginan hawa nafsu kita sering mendorong kita berjalan-jalan ke luar. Tetapi, apa pula yang kita bawa pulang kembali? Tak lain kecuali hati resah dan pikiran bingung. Pergi keluar dengan hati gembira dan muka berseri-seri, tetapi pulang kembali dengan hati susah dan muram. Senang-senang bergembira sampai larut malam, pagi-pagi bangun dengan pikiran kalut. Demikianlah segala kesenangan daging itu mula-mula rasanya nikmat, tetapi akhirnya terasa pahit dan menyedihkan.” Pengaruh dari luar, dari dunia dan masyarakat yang sering membawa keresahan dan kebingungan masuk ke dalam kehidupan manusia, entah kehidupan keluarga atau juga kehidupan kaum religius melalui beberapa bentuk. Bentuk pertama, melalui persahabatan dan keakraban yang khusus dan terus-menerus dengan orang yang sama. Persahabatan yang khusus ini adalah “Suatu persahabatan yang eksklusif antara dua orang yang didasarkan pada ketertarikan emosional” Suatu ciri khusus dari persahabatan ini eksklusivitas yang melahirkan beberapa akibat negatif. Akibat negatif yang pertama adalah sikap cemburu dan iri hati. Persahabatan yang normal biasanya tidak menghasilkan sikap negatif ini. Orang yang menjalin persahabatan yang biasa dengan orang lain tetap bebas dalam pergaulan. Manusia sendiri bebas dan memberikan juga kebebasan kepada sesamanya untuk memilih orang-orang lain menjadi temannya yang baru. Manusia tidak merasa iri hati atau cemburu, apabila sahabatnya bergaul akrab dengan orang-orang lain. Akibat negatif yang kedua adalah absorpsi atau penyerapan pikiran pada teman atau sahabat. Pikiran dan perasaan dari orang yang menjalin persahabatan khusus pada umumnya melekat kuat pada diri orang lain atau temannya sekian rupa, sehingga kekebasan internalnya dihalangi dalam banyak hal atau kegiatan. Keterletakan pikiran dan perasaannya pada sahabatnya membuat manusia sulit berkosentrasi unntuk berdoa, untuk studi, untuk bekerja, untuk berada dan bergaul dengan bebas dan leluasa dengan orang-orang baru. Manusia merasa amat susah untuk berpisah dengan sahabatnya. Akibat negatif yang ketiga adalah timbulnya dorongan spontan dalam diri untuk memanifestasikan perasaan dengan kata-kata yang halus dan dengan rangkulan atau dengan pelukan. Relasi yang ekslusif di antara dua orang anak manusia, khususnya di antara pria dan wanita sering kali berujung pada manifestasi atau ungkapan yang konkret. Biasanya manusia sulit untuk tinggal diam atau bisu tanpa berbuat apa-apa, terlebih lagi apabia manusia sudah berada sendirian di tempat yang sunyi dan sepi. Dalam keadaan sepi, hati, pikiran, perasaan, dan kehendak manusia sperti merasa “Gatal” dan tidak tenang. Pada saat itulah “Aksi gerilia” bisa terjadi dan perbuatan yang terlarang dapat terjadi. Kesunyian dan kesepian merupakan peluang yang besar dan luas bagi anak manusia yang lagi “mabuk cinta atau asmara” untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak boleh terjadi. Bentuk kedua, melalui konversasi atau percakapan yang merugikan. Kata-kata yang keluar dari mulut bisa tampaknya licin dan manis, lembut dan ramah, namun di dalamnya dapat terkandung racun yang melukai, membunuh dan mematikan orang lain. Sebab itu, manusia harus memelihara tata sopan santun dan kerendahan hati dalam berbicara. Bentuk ketiga, melalui kunjungan yang tidak berguna. Tidak semua kunjungan membantu dan menolong, menguntungkan dan menyenangkan orang lain. Kunjungan seperti membawa beban berat kepada mereka, entah karena kunjungan itu bersifat mendadak, sedikit memaksa dan menuntut atau juga karena kunjungan itu membawa serta suatu rombongan besar yang memerlukan persiapan yang tidak sedikit. Kunjungan yang baik adalah kunjungan yang melahirkan kegembiraan dan kerinduan, dan bukannya mendatangkan kebosanan dan kesungutan, kemaraahan dan kebencian. Dalam kehidupan bermasyarakat, kata-kata yang keluar dari mulut mungkin saja menggembirakan. Kunjugan juga mungkin tampaknya menghibur dan menyenangkan orang lain. Namun, hendaknya manusia tetap berwaspada agar kata-kata yang manis atau kunjungan itu yang sebenarnya baik, jangan sampai dimanipulasi untuk mendapat keuntungan bagi dirinya sendiri.
2.4. Tahap-Tahap Pertumbuhan Spiritual Manusia
Pertumbuhan dan perkembangan spiritual manusia merupakan suatu proses panjang yang melewati langkah-langkah atau tahap-tahap kehidupan manusia itu sendiri. Perjalanan spiritual tidak semestinya mulus. Oleh karena itu, tradisi Kristen telah mengembangkan suatu skema yang melukiskan pertumbuhan dan perkembangan hidup spiritual melalui tiga tahap yang sering disebut jalan purgativa (purifikasi atau pembersihan), jalan illuminativa (penerangan), dan jalan unitiva (persekutuan).
2.4.1. Purifikasi atau Pembersihan
Secara sederhana, purifikasi berarti membuat perbaikan-perbaikan dalam hidup dan menanggalkan sikap-sikap yang keras dan kaku dalam diri. Sikap yang keras dan kaku membuat manusia menutup diri terhadap orang-orang lain dan hal ini menyulitkan pertumbuhan dan perkembangan diri yang sehat dan normal. Selain membuat perbaikan-perbaikan, purifikasi juga berarti melepaskan hati dan membebaskan diri dari hal-hal yang membuat manusia buta dan tuli dalam pergaulan dan komunikasi dengan orang-orang lain dan dengan lingkungan di sekitar. Pada titik ini, amatlah wajar dan normal apabila manusia berbuat salah atau keliru, sebab memang tidak ada manusia yang sempurna. Kekeliruan itu amat manusiawi. Namun demikian, pertumbuhan dan perkembangan spritual tidak dapat terjadi dengan mempertahankan kekeliruan dan kesalahan itu dari diri untuk memulai suatu kehidupan yang baru. Ada dua jenis rintangan atau halangan yang dibersihkan dari kehidupan manusia pada tahap purifikasi. Pertama, manusia dapat bertumbuh dan berkembangdengan baik secara spiritual apabila dibersihkan dan dibebaskan darisemua kondisi eksternal yang datang dari luar. Salah satu gejala dewasa ini yang merupakan akibat negatif dari pengaruh luar dalam kehidupan manusia adalah manipulasi tubuh manusia sebagai objek estetis: dicat, diberi pakaian, dicukur, dilubangi, dicabuti, dipotong-potong objek ekonomis: dieksploitasi, diberi makan, direproduksi, dan objek sosial: digoda, dilecehkan, direproduksi. Banyak orang masih merasa memiliki tubuh, tetapi yang terjadi sebenarnya adalah bahwa tubuh telah menjadi sebuah sistem tanda, bagian dari budaya konsumtif. Maksudnya, tubuh ini bukan lagi menjadi milik seorang pribadi dan tidak lagi mempunyai arti dari dirinya sendiri. Dalam situasi demikian, tubuh menjadi komoditas yang harus dijaga dan dipersiapkan demi ''nilai jual'' tertentu. Budaya selebriti menyediakan contoh seperti apa tubuh itu mesti ditampilkan. Akibatnya, menurut sebuah laporan tahun 2000, total belanja kosmetik dunia tahun sebelumnya adalah sebesar US$ 234 milyar atau Rp. 2.106 triliun. Angka ini luar biasa besar kalau mengingat pendapatan negara indonesia sepanjang tahun anggaran 2002 yang diprediksi hanya sekitar Rp. 291, 4 triliun. Artinya, ongkos untuk membeli bedak, gincu, operasi plastik dan menata rambut dunia selama setahun dapat dipakai untuk membiayai negara sebesar Indonesia selama tujuh tahun. Menurut sebuah laporan lain di Taiwan sebanyak satu juta orang berbondon-bondong mendatangi klinik operasi plastik sepanjang tahun 2001, karena mereka ingin tampil lebih cantik dan gagah. Di Korea, diduga satu dari sepuluh orang dewasa pernah dioperasi untuk tujuan kosmetik. Sementara itu di Jakarta saja ditengarai setiap minggunya terjadi 400 operasi semacam itu. Kedua, demi pertumbuhan dan perkembangan spiritual yang baik, manusia juga harus membebaskan diri dari ikatan-ikatan internal, yang oleh pengarang rohani disebut sebagai penderitaan jiwa. Beberapa bentuk dari penderitaan jiwa ini misalnya adalah perasaan sedih yang lahir dari sikap cemburu dan iri hati, dendam dan benci, perasaan minder dan pesimis, merasa diri kecil dan tidak berarti di hadapan orang lain. Adapun penderitaan jiwa yang lain ialah nafsu egoisme. Secara keseluruhan, akumulasi dari egoisme dalam diri manusia lahir dalam apa yang disebut oleh Mahatma Gandhi sebagai ketujuh dosa yang mematikan dalam masyarakat. Ketujuh dosa tersebut adalah 1) memiliki kekayaan tanpa kerja, 2) nafsu menikmati tanpa hati nurani, 3) pengetahuan tanpa watak, intelegensi tanpa kehormatan, kepintaran tanpa etika atau pragmatisme tanpa kemanusiaan, 4) perdagangan tanpa moralitas atau sukses tanpa etika, 5) ilmu tanpa kemanusiaan, 6) agama tanpa pengorbanan, dan 7) politik tanpa prinsip. Inilah berbagai dosa akibat pengaruh negatif, baik dari luar maupun dari dalam diri manusia yang perlu dibersihkan dari kehidupan. Setiap orang dalam upaya ini hendaknya berani untuk “membunuh” manusia lama dengan semua keinginannya yang jahat agar dapat lahir dan hidup manusia baru dengan segala keinginannya yang baik dan benar. Oleh karena itu, ada beberapa cara konkret untuk melakukan purifikasi dalam hidup manusia. Pertama, melakukan kegiatan atau pekerjaan apa saja dengan intensi yang murni. Suatu kegiatan fisik yang sebenarnya baik dapat menjadi buruk, apabila kegiatan itu disertai dengan intensi yang tidak murni. Suatu kegiatan juga mungkin pada awalnya baik, tetapi kemudian menjadi buruk hanya karena manusia misalnya mau mencari pujian, nama besar atau popularitas. Dengan demikian, intensinya mesti dimurnikan, karena menurut Paul Evdokimov dalam karyanya The Struggle with God, “Dosa tidak pernah datang dari bawah, dari daging,tetapi dari atas, dari roh. Kejatuhan pertama terjadi dalam dunia para malaikat, dunia roh murni”. Seperti roh malaikat menolak Tuhan, demikian juga roh kita sering melawan rencana Tuhan dengan keinginan-keinginan atau intensi-intensi kita yang jahat. Oleh dasar inilah, ditandaskan oleh Santo Jeremias, “Setiap kejahatan, penganiayaan, dan ketidakadilan merupakan suatu keputusan bagi pertumpahan darah. Jikalau seseorang tidak membunuh dengan pedang, ia membunuh dengan intensinya dan menutup matanya untuk menghapus kejahatan. Berbahagialah hati nurani yang tidak mendengarkan dan juga tidak merenungkan kejahatan. Orang seperti ini akan tinggal di ‘tempat tinggi’, yakni dalam kerajaan Surga atau dalam gua besar Batu Karang yang kuat di dalam Kristus Yesus.” Apabila intensi kita murni, artinya jauh dari keinginan jahat, kita berada di Surga bersama dengan Kristus. Intensi yang murni dalam setiap sikap dan tindak-tanduk manusia amat diperlukan, karena tidak ada gunanya perkataan kalau tidak disertai dengan perbuatan, kepintaran kalau tidak disertai dengan budi, derma kalau tidak disertai dengan niat suci, harta kalau tidak disertai sopan santun, kejujuran kalau tidak sanggup memegang janji, hidup kalau tidak disertai kesehatan, negeri makmur kalau hati penduduknya kecewa. Intensi murni menjadikan manusia menjadi satu, utuh, dan integral dalam perkataan dan perbuatanya, dalam kepintaran dan budi pekertinya, dalam amal bakti dan niat sucinya, dalam harta kekayaan dan tata sopan santunnya, dalam kejujuran dan janjinya, dalam kehidupan dan kesehatannya dan dalam kemakmuran dan kepuasan hidup. Kedua, manusia harus bekerja menurut motif-motif adikodrati. Phil Bosmans mengatakan: “Seorang manusia tidak dapat hidup di atas dunia apabila ia tidak memiliki sekeping surga di dalam kepala atau di dalam hatinya.” Visi dan misi adialami atau motivasi dan orientasi adikodrati membuat manusia hidup dengan baik dan benar dalam setiap perbuatan dan kegiatannya di dunia ini,karena “Sejarah menerima maknanya dari realitas transendensi. Kita menemukan makna ini dengan merenungkan Kristus dengan kembali kepada sumber barang-barang duniawi menjadi lebih terang bagi kita. Pandangan Kristen tentang sejarah menemukan terang di dalam Kristus yang sekarang ini hadir dalam Gereja-Nya dalam cara-cara yang berbeda-beda dengan Sabda, dengan Sakramen-Sakramen dan dengan Tradisi yang hidup.” Dengan adanya visi adikodrati, segala hal ihwal duniawi menjadi bermakna dan berguna bagi manusia. Sebaliknya, tanpa visi adikodrati, manusia dalam dunia moderen akan “Berjalan dalam resiko untuk membatasi kemajuan dalam dimensi horizontal. Tetapi, menjadi apakah manusia jikalau ia tidak mengangkat pikiran kepada yang absolut? Suatu ‘Kemanusiaan baru’ tanpa Allah ditakdirkan untuk berakhir dengan cepat seperti jejak berlumuran darah yang ditinggalkan dan ditunjukkan kepada kita oleh sejarah ideologi dan rezim totaliter dari abad silam.” Dari hakikatnya Allah adalah satu-satunya Allah. Tidak ada satu hal apapun yang dapat dibandingkan dengan-Nya. Segala sesuatu patuh kepada-Nya. Dari sinilah lahir penolakkan terhadap pemujaan berhala, yang dikecam dengan keras oleh nabi Yesaya: “Tiada berpengetahuan orang-orang yang mengarak patung dari kayu dan yang berdoa kepada Allah yang tidak dapat menyelamatkan” (Yes. 45:20). Bagaiman kita dapat menundukkan kepala dalam penyembahan di hadapan sebuah produk manusia?” Dengan pandangan kepada Allah yang ada di atas di dalam surga, hidup manusia, perbuatan dan kegiatannya jauh dari sikap dan tindakan penyembahan berhala yang amat sering menyesatkan manusia. Ketiga, manusia mesti melakukan kebajikan-kebajikan konkret yang kelihatan atau transparan itu seperti hal-hal nya meminta maaf atas ketidaksalahpahaman atau kekeliruan, membantu orang lain, mengunjungi orang-orang sakitan. Tidak ada daging yang tidak retak, tidak ada mawar yang tidak berduri dan tidak ada batu yang tidak keras. Demikian pun tidak ada manusia yang sempurna, juga diri kita manusia. Oleh sebab itu, amatlah wajar apabila kita, sadar atau tidak sadar, melakukan kesalahan atau kekeliruan yang merusak kita sendiri atau merugikan orang lain. Yang paling penting ialah bukan melakukan kesalahan atau kekeliruan, tetapi keberanian untuk meminta maaf apabila kita sudah bersalah atau sudah keliru dalam sikap, tindakan dan perbuatan. Pada titik ini, perjuangan dan usaha purifikasimerupakan salah satu kebajikan penting bukan hanya untuk mencapai kesenangan dan damai dalam hidup, tetapi juga suatu kebajikan utama untuk membersihkan diri dari segala kekurangan internal dari kehidupan kita. Inilah beberapa usaha purifikasi konkret yang dapat dilakukan manusia untuk mencapai pertumbuhan dan perkembangan spiritual kehidupannya. Semua upaya konkret ini secara fundamental membawa manusia kepada suatu pertumbuhan dan perkembangan, kepada suatu kelahirandan kebangkitan baru. Usaha ini membebaskan manusia untuk hidup, untuk mencinta, sehingga manusia dapat mencapai kepenuhan hidup seperti dikehendaki oleh Tuhan dan sesama manusia.
2.4.2. Iluminasi atau Penerangan
Dalam bingkai ini, iluminasi melukiskan nilai transfigurasi dari meditasi atas Injil yang menjadikan manusia satu figur dengan Roh Kristus. Melalui transfigurasi tidak ada pertumbuhan dan perkembangan rohani tanpa perhatian terhadap Injil yang merupakan tempat roh atau semangat manusia dihadapkan dengan Roh Kudus yang hidup dalam diri Yesus Kristus. Roh Kudus hadir dan berkarya dalam diri Yesus yang berbicara kepada manusia melalui sabda dan Injil-Nya. Oleh karena itu, manusia akan mengalami pertumbuhan dan perkembangan rohani yang baik dan benar apabila manusia menjadi akrab dengan Injil Tuhan. Pada titik inilah hendaknya manusia wajib mengembangkan keakraban yang sangat pribadi dengan Sabda Allah. Tentu saja dibutuhkan pengetahuan segi-segi bahasa atau tafsirnya, tetapi itu saja belum cukup. Manusia sendiri perlu mendekati sabda Allah dengan hati yang sungguh terbuka dan dalam sikap doa, sehingga sabda itu secara mendalam meresapi pikiran maupun perasaanya. Dengan demikian, kata-kata, pilihan-pilihan dan sikap-sikap manusia akan semakin menjadi refleksi, pewartaan, dan kesaksian tentang Injil. Hanya kalau manusia tinggal dalam sabda, manusia akan menjadi murid Tuhan yang sempurna.
Atas dasar ini keterbukaan terhadap orang-orang lain merupkan salah satu prasyarat dan tuntunan penting untuk mengenal dan memahami sabda Tuhan. Orang-orang lain itu bukan hanya orang-orang kudus, para santo dan santa, para Uskup dan para imam, bapa rohani atau bapa pengakuan, para katekis atau guru-guru agama, para konselor atau penasihat-penasihat terkenal. Mereka bukan juga hanya guru-guru besar, para ahli atau pakar, para dosen dan profesor, para pengkotbah atau orator-orator nomor satu seperti Cicero, Aristoteles atau filsuf-filsuf terkenal lainnya. Tetapi, mereka adalah juga orang-orang biasa dan sederhana namun dapat memberikan inspirasi atau ilham kepada kita. Hanya dengan sikap ini manusia dapat menangkap dan menerima inspirasi atau ilham dari oaring-orang lain, baik itu orang besar maupun orang kecil, “Tinggalkanlah pikiran rumit, agar dapat melihat jawab yang tersembunyi. Diamlah dari kata-kata, agar memperoleh percakapan abadi.” Melalui pikiran-pikiran orang lain, Tuhan dekat dengan manusia dan berbicara dengan manusia. Sabda Tuhan yang kita dengar dan terima dari orang lain atau yang kita renungkan sendiri dapat mengilhami dan membimbing pertumbuhan dan perkembangan spiritual kita, sebab melalui sabda-Nya itu Tuhan merupakan kebenaran, terang bagi kita dan lampu bagi hidup kita. Tuhan, “Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku” (Mzm. 119:105).
2.4.3. Unifikasi atau Persekutuan
Garis final atau akhir dari pertumbuhan dan perkembangan hidup spiritual manusia adalah persekutuan dalam cinta dengan Tuhan dan sesama. Inilah sasaran yang dirindukan manusia pada semua tahap pertumbuhan dan perkembangan spiritual sebelumnya, yang memang tidak pernah dicapai dengan sepenuh-penuhnya, tetapi yang memberikan makna kepada tahap-tahap pertumbuhan dan perkembangan sebelumnya itu. Kalau manusia tidak sampai pada persekutuan, usaha dan kontemplasi akan merosot nilainya menjadi teknik penguasaan dan kesadaran diri untuk merealisasi kepentingan ego atau diri pribadi. Dalam konteks Kristen, berbicara tentang persekutuan hidup entah dengan Tuhan maupun dengan sesama sebagai garis final pertumbuhan dan perkembangan spiritual manusia selalu merupakan hal yang hakiki dalam kehidupan manusia. Sebabnya adalah karena “Tuhan tidak menciptakan manusia sebagai suatu makhluk yang sendirian, tetapi menghendakinya sebagai suatu makhluk sosial.” Menciptakan manusia sebagai makhluk sosial yang berada dalam relasi dengan orang lain dan terutama dengan Tuhan, bukanlah sekedar rencana dan kehendak Allah suatu arti atau makna tertentu yang mendasar. Dalam arti ini, “Bangsa manusia, lelaki dan wanita, merupakan gambar Allah, bukan hanya sebagai makhluk yang cerdas dan bebas, tetapi juga sebagai makhluk relasional yang menemukan dalam persekutuan dan pemberian diri kebenaran dan kepenuhan dari prestasi diri mereka.” Manusia akan hidup baik dan benar, ia juga akan bertumbuh dan berkembang secara normal menuju kepenuhannya hanya apabila manusia mencintai dan dicintai oleh Tuhan dan sesamanya dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, “Lebih dari biasanya, dunia dewasa ini perlu menemukan kembali makna kehidupan dan kematian dalam perspektif kehidupan abadi. Di luar itu, budaya modern, yang lahir untuk mengangkat kepribadian manusia dan martabatnya, secara paradoks telah menjelma ke dalam suatu budaya kematian, karena tanpa horizon Allah, manusia menemukan dirinya sebagai seorang tawanan di dunia yang diliputi ketakutan, dan memberi jalan kepada patologi kolektif dan pribadi.” Dengan ini jelas bahwa tanpa hubungan dan komunikasi dengan Allah, manusia hidup dalam budaya maut yang menciptakan ketakutan dan membangun penjara bagi diri sendiri dan bagi orang lain. Dalam pemahaman seperti ini, hal yang diminta dari manusia hanyalah kesediaan hati dan kerelaan kasih untuk menerima dan menyambut, memelihara dan mempertahankan persekutuan hidup yang lahir Tuhan Allah itu. Menurut Jesu Castellano, ada beberapa cara atau sikap yang konkret bagaimana manusia menerima dan memelihara persekutuan dengan Tuhan dan dengan sesama untuk membangun pertumbuhan dan perkembangan hidup spiritual yang baik dan benar. Cara pertama adalah dengan partisipasi yang penuh dalam sakramen-sakramen Gereja. Berdasarkan penegasan Magisterium, sakramen-sakramen mempersatukan kita dengan Tuhan dan dengan sesama manusia. Dengan merayakan sakramen-sakramen kita bersatu dengan Tuhan Yesus dalam kematian dan kebangkitan-Nya dan bersatu juga dengan sesama dalam kehidupan dan pekerjaan, dalam kegembiraan dan harapan, dalam duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang ini. Cara kedua adalah dengan saling mengasihi atau mencintai. Apabila manusia saling mengasihi, manusia tidak hanya melihat Allah, tetapi juga kita tinggal bersatu dengan Dia dan Ia tinggal bersatu dengan kita. Cinta kasih dalam batasan ini bukan terutama karena kehendak kita , melainkan kehendak Allah sendiri. Sesungguhnya secara spiritual “Pribadi manusia dipanggil untuk mencintai Allah dengan komitmen yang total dan untuk berhubungan dengan saudara-saudara dan saudari-saudarinya dengan sebuah sikap cinta yang diilhami oleh cinta Allah sendiri. Bertobat berarti berubah untuk mencinta.” Dengan ini jelas bahwa cinta kasih lebih dahulu merupakan pilihan dan panggilan kehendak Allah sebelum ia menjadi dambaan dan kerinduan manusia. Allah sendiri memilih cinta kasih bagi manusia dan juga memanggil manusia kepada cinta kasih itu. Sebagai prinsip kehidupan, cinta kasih tidak saja membuat hidup dengan baik dan benar manusia pribadi per pribadi, tetapi juga menjiwai hubungan persatuan Tuhan dengan kita dan persatuan kita dengan Tuhan pada satu sisi, dan pada sisi lain ikatan persatuan kita dengan orang-orang lain. Cinta kasih dalam hal ini merupakan lem perekat hubungan vertikal dengan Tuhan dan hubungan horizontal dengan sesama. Dalam bingkai spiritual, cinta kasih yang menghidupkan hubungan persatuan ini tidak lain ialah kehendak Allah sendiri. Dalam bingkai spiritual ini, mencintai Tuhan tidak dapat dilepas-pisahkan dengan mencintai sesama. Sebaliknya, “Apabila kita benar-benar mencintai (Tuhan Allah) dengan cinta kasih-Nya, kita juga akan mencintai saudara-saudara atau saudari-saudari kita sebagaimana Allah mencintai mereka. Inilah kebesaran Kristenitas: seseorang tidak dapat mencintai Allah, jikalau ia tidak mencintai saudara-saudaranya yang lain, dengan menciptakan persekutuan cinta kasih yang mendalam dan berkanjang dengan mereka. Hanya mereka yang terlibat dengan para tetangga mereka dan kebutuhan-kebutuhannya memperlihatkan cinta kasih mereka kepada Yesus. Bersikap tertutup dan masa bodoh terhadap orang lain berarti bersikap tertutup juga terhadap Roh Kudus, melupakan Kristus dan menyangkal cinta kasih universal Bapa.” Cara ketiga adalah dengan meniru pola hidup Tuhan sendiri. Ada banyak sekali contoh hidup Kristen yang bisa ditiru. Sebut saja misalnya pelayanan-Nya dalam sikap rendah hati sampai Ia sendiri mencuci kaki para murid-Nya, pengorbanan-Nya sampai Ia memberi diri dan nyawa-Nya di atas palang salib, sikap-Nya yang murah hati dan penuh pengampunan sampai Ia juga mendoakan para musuh. Dalam undangan ini jelas bahwa mengikuti Tuhan dan meniru teladan hidup-Nya tidak hanya membuat manusia bersatu dengan Dia dan sesamanya, tetapi juga melahirkan dalam diri kita manusia sikap lemah lembut dan rendah hati seperti diri-Nya. Dengan sikap ini, bertumbuh-kembanglah dalam kehidupan kita kelegaan dan kegembiraan, ketenangan dan kedamaian dalam hati dan dalam relasi dengan orang lain. Cara keempat adalah dengan menghasilkan banyak buah. Untuk menghasilkan banyak buah kehidupan yang baik, manusia harus bersatu dengan Tuhan dan sesamanya. Dengan menghasilkan buah dalam kehidupan, manusia tidak akan hilang lenyap dari memoria, dari kenangan dan buah mulut orang-orang lain dalam kebersamaan hidup dan dalam dialog di antara mereka. Dengan berbuah dalam kehidupan manusia akan selalu hadir, berada dan berdialog dengan orang-orang lain dalam persekutuan dengan sesama. Sebab itu “Hasilkanlah buah yang sesuai dengan pertobatan” (Mat. 3:8) dalam perjalanan dan pelayanan setiap hari, agar kehidupan spiritual kita bertumbuh segar dan berkembang sehat dan harmonis dari waktu ke waktu. Cara kelima adalah dengan berhenti melakukan dosa dan kejahatan. Dosa dan kejahatan selalu merupakan musuh dari dan bagi persekutuan dan persatuan hidup dengan Tuhan dan sesama. Dengan dasr ini hendaknya manusia berhenti berbuat dosa dan berhenti pula melakukan kejahatan, apabila manusia mau bersatu dengan Tuhan dan sesama dalam hidup. Dosa dan kejahatan tidak pernah menjadi jalan menuju persatuan dan persekutuan. Sebaliknya dosa dan kejahatan selalu merupakan jalan menuju permusuhan dan perkelahian, pertengkaran dan perpecahan. Maka kalau mau bersatu, manusia harus berhenti berdosa dan berhenti berbuat jahat. Begitu juga kalau manusia sudah bersatu dengan Tuhan dan sesama, tidak boleh lagi kembali kepada dosa dan kejahatan. Persekutuan dengan Tuhan dan sesama hendaknya bagi manusia merupakan terminal akhir untuk tidak lagi berjalan terus dalam dosa dan sekaligus merupakan simpul mati untuk tidak lagi melakukan kejahatan dalam kehidupan pribadi dan kehidupan bersama bersama. Inilah inti pesan Tuhan Yesus kepada perempuan yang berzinah: “Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang.” (Yoh. 8:11).
2.5. Kualitas Pertumbuhan Spiritual Manusia
Pertumbuhan spiritual manusia memiliki kualitas-kualitas tertentu. Kualitas-kualitas tertentu yang dimiliki itu, selain merupakan tuntutan atau jalan bagi pertumbuhan spiritual, juga sekaligus merupakan tanda, buah, atau manifestasi dari pertumbuhan spiritual yang sudah dicapai dan yang serentak dapat disaksikan dalam kehidupan seseorang. Berikut beberapa kualitas pertumbuhan spiritual manusia.
2.5.1. Kualitas Manusiawi
Kesempurnaan hidup menurut Injil dibangun terlebih dahulu dengan kebajikan-kebajikan manusiawi atau alami sebelum dengan kebajikan-kebajikan Ilahi atau spiritual. Kebajikan manusiawi ini merupakan dasar atau fundamen dari kesempurnaan hidup manusia sebelum dibantu oleh “Kebajikan Ilahi yang memungkinkan kemampuan manusiawi mengambil bagian dalam kodrat Ilahi.” Dengan bahasa simbol, “Kita tidak dapat berharap akan mendaki sebuah gunung, jikalau kita pertama-tama tidak mampu berjalan dengan mudah di tanah yang rata.” Sering kali, kita merasa diri hebat dari yang lain. Kita terkadang melompat dan melalaikan hal-hal kecil, supaya kita dapat diberi pujian oleh orang-orang sekitar dalam melakukan hal-hal besar. Yang sesungguhnya berawal dari hal-hal atau tindakan-tindakan kecil itulah yang menjadi dasar seluruh kehidupan kita kepada-Nya. Allah menghendaki kita supaya setia melakukan hal-hal kecil. Sehingga, Ia dapat mempercayakan dan menggunakan kita dalam melakukan hal-hal besar. Untuk mencapai tujuan dalam melakukan hal-hal kecil ke hal-hal yang lebih besar. Maka, perlu adanya kematangan emosional dalam setiap pribadi manusia.
Kematangan manusiawi tampil dalam beberapa komponen utama: emosi, otonom realistis, sosial, dan higienis. Kematangan pertama, yaitu emosi, terletak dalam kemampuan memberikan jawaban yang tepat dan sesuai terhadap dorongan-dorongan emosi. Orang yang matang secara emosional memberikan reaksi sewajarnya saja. Ia tidak cepat emosional, tidak dapat cepat meledak dan tidak marah secara membabi buta. Kunci yang menentukan dalam kematangan emosional ini adalah kesanggupan untuk mengontrol dan menguasai emosi. Dengan kemampuan menguasai diri, manusia akan mencapai dan memiliki kematangan afeksi dan emosi. Tanda-tanda konkret dari kematangan emosional ini tampak misalnya dalam bentuk kapasitas untuk melaksanakan kewajiban pribadi; kapasitas untuk mengambil keputusan-keputusan dalam damai dan tanpa menunda-nunda, “kemampuan menciptakan dan memelihara suasana hidup yang hening, memelihara hubungan-hubungan baik, yang mengungkapkan pengertian dan kebaikan hati, serta tetap mengendalikan diri.” Selain kematangan emosional, hal kedua untuk mengukur kematangan manusia adalah kemampuan untuk bersikap otonom dalam hidup. Seorang otonom yang sanggup untuk hidup sendiri dan bekerja sendiri dengan tanggung jawab yang besar dalam setiap tugas yang dipercayakan kepadanya. Ia juga mampu mengambil keputusan sendiri tanpa selalu diarahkan dan didesak oleh orang-orang lain. Ia merasa senang dan puas dengan kesuksesan yang dicapai dalam tugas yang dilaksanakannya. Ia mampu beradaptasi dengan situasi baru, lingkungan baru, atau orang baru. Sekalipun dengan otonominya yang besar ia dapat melakukan apa saja yang dikehendakinya tanpa dihalangi-halangi oleh suatu hambatan yang berasal dari luar, namun dengan itu ia bukanlah seorang yang apatis dan masa bodoh, acuh tak acuh atau tidak pusing peduli pada orang-orang lain disekitarnya. Otonomi yang benar bukanlah suatu sikap individualis yang asosial. Seorang yang otonom secara benar tidak pernah menentang dan melawan orang-orang lain. Ia tidak pernah melihat orang-orang lain sebagai saingan atau musuh, tetapi sebagai saudara atau sahabat, sebagai partner hidup atau mitra kerja. Hal ketiga untuk mengukur kematangan manusiawi adalah sikap realistis. Seorang manusia yang matang akan mampu melihat dan menerima realitas seperti adanya dan bukan menurut keinginannya. Keinginan, harapan, dan niat biasanya amat banyak. Jumlahnya luas dan tak terbatas. Begitu juga idealisme dan cita-cita pada umumnya besar dan tinggi-tinggi. Namun, sering kali kemampuan amat terbatas. Orang yang tidak realistis dapat menjadi korban dari cita-cita, harapan, dan idealismenya sendiri, orang yang realistis sebaliknya tidak merasa kecewa dan putus asa segala keterbatasan dan kelemahan dirinya sendiri. Selain itu, ia juga memahami dan menerima kenyataan bahwa orang lain, teman dan sahabat atau juga pimpinan bukanlah orang yang sempurna. Sebagai makhluk yang terbatas mereka mempunyai kelemahan-kelemahan dan kekurangan-kekurangan tertentu. Orang yang realistis mengakui dan menerima bukan saja kesempurnaan dan kesuksesan, tetapi juga kekurangan dan kegagalan. Kematangan keeempat adalah kematangan sosial. Orang yang matang secara sosial memiliki kesadaran berkelompok dan berkomunitas. Manusia juga memiliki tanggung jawab dalam soal berorgarnisasi dan bekerja samn untuk memajukan kepentingan umum. Manusia juga mampu medengar dan bersikap simpati terhadap orang-orang lain. Maka orang-orang yang memiliki kematangan sosial akan menghindari perilaku yang terlalu pasif dan tidak memajukan dialog, tetapi juga menghindari campur tangan yang berlebihan yang dapat merintangi dialog. Kecakapan untuk menjalin komunikasi yang sejati dan mendalam akan menyentuh hati orang yang matang secara sosial. Kecakapan berkomunikasi itu menggerakan dinamisme-dinamisme yang vital pada kecakapan untuk menjalin hubungan-hubungan, yang membangkitkan motivasi-motivasi yang paling autentik dan radikal pada pribadi, yang merasa diterima, didorong, dan diterima. Dalam kematangan sosial ini, manusia perlu membangun komunikasi dan dialog dengan orang-orang lain, karena manusia di dunia ini memiliki kebutuhan untuk didengar. Dengan mendengarkan orang lain, manusia dalam komunikasi dan dialog dapat mencari dan menemukan jalan keluar atau solusi dari persoalan-persoalan hidup pribadi ataupun bersama. Mendengarkan atau saling mendengarkan dalam relasi, komunikasi, dan dialog akan sangat membantu pertumbuhan dan perkembangan spiritual manusia. Sebab, pada umumnya kita mempengaruhi orang lebih kuat dengan kata-kata yang diucapkan secara spontan, tanpa dipikirkan terlebih dahulu atau ucapan-ucapan yang diujar secara kebetulan, daripada apa yang kita lakukan dengan wacana yang sangat teliti dan disusun dengan rapi. Mutu ucapan-ucapan kita yang spontan amat banyak bergantung dari mutu kehidupan kita. Apabila mutu kehidupan manusia baik, ucapan-ucapan dan dan sapaan-sapaannya, nasehat-nasehat, dan teguran-tegurannya yang spontan akan mempunyai daya atau kekuatan untuk membangun dan menghidupkan semangat perjuangan orang lain. Hal kelima untuk mengukur kematangan manusia adalah higiene, kebersihan atau lebih tepat kesehatan. Kematangan higienis ino diperoleh dari kemampuan manusia untuk mengorganisisir atau mengatur semua aktivitas atau kegiatan intelektual, sosial, sosial, spiritual, pastoral, dan fisik dalam suatu bingkai disiplin hidup yang baik dan teratur, tertib, dan konsisten. Dalam arah ini, manusia menjadi matang dan dewasa apabila manusia bisa mengatur segala kegiatan hidupnya dengan baik dalam suatu aturan hidup yang tertib menurut kuantitas waktunya yang pas dan sesuai. Dengan disiplin hidup yang baik dan tertib, manusia tidak hanya sanggup melaksanakan berbagai tugas dan kegiatannya pada waktunya, tetapi juga manusia dapat memelihara kessehatan fisik-jasmani dan kesehatan mental spiritualnya.
2.5.2. Kualitas Ilahi
Paus Pius XII menekankan kualitas dari kehidupan spiritual manusia melalui jalan satu-satunya, yakni merindukan dan mendambakan,mengupayakan dan memelihara kekudusan atau kesempurnaan sesuai dengan panggilan Allah sendiri. Menurut Beliau, satu-satunya jalan kesempurnaan ialah penyangkalan diri demi cinta akan cinta Kristus, dan ini tidak dapat berubah dengan berubahnya waktu. Waktu dan tempat boleh berubah, tetapui kekudusan atau kesempurnaan melalui penyangkalan diri berlaku sepanjang waktu dan pada semua tempat sesuai dengan perkataan Kristus sendiri. Inti kehidupan manusia bukanlah menginginkan apa yang menyenangkan, apa yang nikmat, apa yang sedap. Manusia tidak akan menemukan Tuhan jikalau ia tidak berhenti berpegang pada perasaan dan kehendaknya sendiri. Kehendak yang dituntut dalam ketaatan melalui kerendahan hati dan sikap patuh, perasaan yang dirangkul dengan bebas lewat kesederhanaan hidup dan pengekangan hawa nafsu badan. Hanya dengan cara demikian, pertumbuhan manusia dalam kematangan manusiawi dan dalam keahlian profesional akan dilengkapi dan disempurnakan pada tingkat yang lebih tinggi dnegan pertumbuhan dalam kematangan religius atau spiritual. Melalui cara ini kehidupan manusia, khususnya para pengikut Kristus, tidak cukup berjalan hanya menurut akal sehat manusiawi saja. Dalam bingkai spiritual, seorang manusia harus mengatasi dan melampaui tingkat manusiawi. Manusia harus mampu mencapai suatu titik hidup yang matang dan dewasa menurut kebenaran iman dan tuntutan cinta Ilahi.Kualitas Ilahi kehidupan manusia ditandai dengan dua hal pokok, yaitu idealisme spiritual dan kepribadian adikodrati. Idealisme spiritual dalam pokok pertama berisi kekudusan sebagai suatu kondisi jiwa untuk menginginkan apa yang Tuhan inginkan dan juga menurut cara yang Tuhan kehendaki, dan bukan menurut keinginan kita dan cara manusiawi kita. Keinginan satu-satunya dari seorang kudus atau seorang spiritual adalah mencintai Tuhan. Mencintai Tuhan dengan tulus ikhlas dan setia pada jalan kebenaran-Nya. Pokok kedua adalah kepribadian adikodrati. Dalam kepribadian adikodrati ini, manusia dipanggil kepada kepenuhan hidup, yang jauh melampaui dimensi-dimensi hidupnya di dunia, sebab terdiri dari partisipasi dalam kehidupan Allah sendiri. Oleh sebab itu, ada beberapa tanda dari kepribadian adikodrati. Tanda pertama adalah orientasi kepada Tuhan. Dalam orientasi ini, latihan-latihan spiritual atau rohani apa saja mesti diarahkan kepada cinta akan Tuhan, dan bukan kepada hal-hal lain di luar dari Tuhan. Apa saja yang dilakukan dan dimiliki manusia dalam hidupnya seperti misalnya harta kekayaan, kemampuan-kemampuan, bakat-bakat atau hobi-hobi harus dikembangkan dalam suatu kesadaran bahwa semua itu direncanakan dan diberikan oleh Tuhan kepadanya untuk memuliakan nama Tuhan dan untuk menguduskan diri manusia dan menyelamatkan kehidupannya di atas dunia ini. Tanda kedua dari kepribadian adikodrati adalah kebenaran. Perkembangan spiritual kepribadian manusia mengandaikan perkembangan intelektual dalam kebenaran yang riil ini, ketaatan iman mesti sejalan dengan kebenaran intelektual. Tanpa kebenaran intelektual, ketaatan iman sering menjadi buta, dan tanpa ketaatan iman kebenaran intelektual membingungkan. Berkat korelasi yang sehat dan sewajarnya antara iman dan intelek, jiwa manusia taat untuk melakukan segala sesuatu dalam sikap iman, karena ia mengerti dengan akal budinya segala tujuan dari apa yang dilakukannya. Tanda ketiga ialah dinamisme. Setiap individu pasti mempunyai tujuan dalam hidup. Tujuan yang dikejar manusia berlaku untuk semua aspek kehidupan dan kegiatan manusia. Secara spiritual, “Tujuan akhir dari perbuatan manusia adalah kebahagiaan di dalam Allah”. Dinamisme spiritual menuju kesempurnaan ini berjalan atau beroperasi dalam kehidupan manusia melalui ketaatan intelektual dan ketaatan iman untuk melayani Tuhan dan sesama dalam setiap bentuk karya kerasulan. Tanda keempat adalah kemurahan hati atau sikap dermawan. Sangat disayangkan bukan hanya dahulu tetapi juga sekarang ini bahwa sejumlah generasi tua kadang-kadang masih menganggap generasi muda sombong dan angkuh ketika generasi muda berbuat banyak hal yang besar dan mengagumkan. Cap negatif seperti ini sering kali muncul karena tidak ada suatu relasi dan komunikasi yang baik antara kaum muda dan kaum tua. Dalam situasi seperti ini, amatlah tidak sehat apabila orang muda dituntut oleh orang tua untuk bersikap taat secara buta, tanpa bimbingan dan nasehat, tanpa dialog dan diskusi hanya karena orang tua mempunyai kekuasaan yang besar dan otoritas yang kuat, tetapi amat keterlaluan juga apabila kaum muda tidak menghiraukan golongan tua, karena orang tua tidak dapat berbuat banyak hal yang mengagumkan seperti kaum muda. Relasi dan komunikasi seperti ini akan mengantar manusia kepada perhambaan dan keputusasaan dan bukan kepada kesempurnaan. Untuk mengatasi krisis relasi dan komunikasi ini, antara kaum muda dan kaum tua diperlukan sikap dermawan atau sikap murah hati dan sikap belarasa. Dengan sikap ini, ketaatan kaum muda akan memberikan ruang yang bebas kepada idealisme spiritual mereka dan sekaligus mewujudkan mimpi-mimpi mereka akan kesempurnaan dan kekudusan hidup dalam komunitas keluarga atau biara.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Peningkatan aspek spiritualitas siswa SMAK Seminari St. Yohanes Paulus II Labuan Bajo
3.1.1. Mengenal dan menyelidiki motivasi
3.1.1.1 Mengenal motivasi sebagai tanggapan panggilan Tuhan
Nilai jawaban atau panggilan Tuhan itu ditentukan oleh kematangan hati, rasa dan budi. kalau calon masuk seminari, penting sekali tidak hanya meneliti kesehatan akal budi, tetapi juga kematangan rasa dan emosi. Wajib dan menjadi tanggung jawab seminari untuk memperlancar perkembangan emosi diantara calonnya. Tanggapan cinta itu berjalan otomatis dengan mengambil alih dan meresapi semua nilai tokoh yang dicintainya. Menjawab panggilan Tuhan juga berarti melepaskan semua nilai, yang tidak membantu untuk menjalin hubungan erat dengan Dia. Tindakan yang bertentangan dengan dengan komitmen yang dijanjikan orang itu kepada Tuhan tidak hanya disebabkan oleh kebutuhan yang tidak terpenuhi, tetapi berasal juga dari kurangnya pengertian akan tuntutan komitmen. Pertobatan hati itu hanya nampak dalam perubahan-perubahan nilai dan perubahan dalam tingkah laku. Pertobatan itu keterlibatan pada nilai-nilai Kristus. Pembentukan di seminari harus membantu calon untuk meresapi nilai-nilai iman, harapan dan cinta kasih dan meningkatkan kesetiaan kepada semangat Kristus. Peresapan nilai itu diperlancar oleh tanggapan lembut ikhlas penuh cinta dari pihak pendidikannya, dan bukan melewati kekerasan dan kekejaman. Harapan yang tidak wajar terhadap seminaris itu tidak hanya menciptakan kedok munafik palsu, tetapi juga menanamkan rasa dendam dan marah terpendam, disebabakan oleh banyak kekecewaan. Kalau perasaan negatif menyumbat jiwa si calon, maka sudah tidak ada tempat lagi untuk perasaan gembira dalam menerima nilai-nilai rohani yang ditawarkan.
3.1.1.2 Menyelidiki motivasi
Keputusan untuk menjadi imam itu harus ada motivasi dan mempunyai tujuan. Kemampuan untuk mendapatkan kejelasan motivasi itu mengandaikan taraf kematangan tertentu. Seminaris perlu perlu ruang gerak dan waktu cukup untuk menguji dan mencari kejelasan motivasinya. Setia dalam komitmen, sungguh mau dan melibatkan diri dan mampu melibatkan diri, itu hanya mungkin, kalau orang sudah menjadi sadar dan bisa bersyukur terhadap kurnia, kekuatan yang ada dalam dirinya. Inilah bentuk penyerahan diri yang didasarkan pada cinta penuh semangat dan rasa gembira. Kesadaran akan kurnia yang ada pada diri orang itu tidak menghilangkan kesadaran akan keterbatasannya. Menjadi manusia itu berarti sadar akan bakat-bakat dan batas-batasnya. Tuhan menerima diri orang yang tersucikan itu dengan bakat-bakat dan batas-batasnya. Namun begitu, motivasi di belakang penyerahan diri itu memainkan peranan penting dalam hubungan antara orang dengan Allah, dalam kemampuannya untuk hidup setia dan juga dalam kemampuannya menjaga keseimbangan emosional. Berikut beberapa motivasi yang perlu disadari:
Kebutuhan tak terpenuhi, kesadaran akan kebutuhan emosional yang ada, memungkinkan orang untuk memilih sarana positif dan konstruktif guna mencukupi kebutuhan ini. Bersikap buta terhadapnya akan mengakibatkan tingkah laku yang hanya merugikan diri. Jika kebutuhan dasar tak terpenuhi, maka hal ini akan menguasai motivasi pribadi orang. Jika kebutuhan yang tak terpenuhi terus menerus bertentangan dengan cita-cita tinggi dan harapan pribadi maka terserap habis energinya dan akhirnya ia tidak bisa berfungsi lagi. Semacam kelumpuhan rohani muncul dan komitmen kepada Tuhan menjadi tidak berarti lagi. Hanya atas dasar cinta Tuhan yang tak dapat berubah dan tanpa syarat itu seorang pribadi dapat menemukan harga diri yang kokoh kuat. Harga diri didasarkan pada kesadaran ini, memungkinkan orang mengembangkan kemampuan untuk penyerahan diri. Keinginan untuk menyerahkan diri akan timbul lambat laun. Hanya pada waktu itu orang menjadi mampu mendengarkan bisikan hati, merasakan kebebasan untuk menyerahkan diri entah kepada Tuhan dan kepada sesama.
Motivasi tidak sadar, motivasi tidak sadar itu selalu mempunyai akar pada kebutuhan yang tidak diakui. Sedih karena kehilangan orang tercinta, perasaan kurang aman, rasa salah dan keinginan untuk berbuat silih, takut akan beban dan tanggung jawab hidup berkeluarga, ini semua motivasi tidak sadar yang bisa mendorong orang untuk memilih hidup religius. Motivasi tidak sadar harus disadarkan dulu, sebelum menerima calon. Kalau tidak dibuka dan tidak dijelaskan, nanti akan timbul lagi dalam masa krisis, dan orang itu akan merasa tertipu atau tidak melihat arti panggilannya lagi. Motivasi tidak sadar ini manusiawi biasa dan motivasi seperti ini tidak mempunyai dasar adikodrati. Karena konflik ini terjadi di bawah sadar, orang bergulat untuk menyelesaikan konflik terpendam dengan mencari keringanan atau keamanan di alam “adikodrati”. Si calon di sini harus didorong untuk bersikap jujur. Ia harus menggali lebih jauh dalam hidup sendiri, untuk menghadapi realitas di bawah sadar yang merupakan akar konflik itu. Jujur pada diri sendiri adalah unsur pokok yang diperlukan untuk membuka motivasi tidak sadar ini. Jika seorang calon mengajukan diri, maka perlu sekali orang mengenali pengalaman-pengalamannya waktu kecil dan hubungannya di dalam kelurga. Jika pengalamannya masa kanak-kanak tidak menguntungkan, di bawah sadar ada dorongan untuk mencari keamanan disuatu tempat, di mana rupanya tidak ada konflik. Awam di luar mempunyai pandangan salah, seakan-akan hidup dalam komunitas religius seperti di lembaga seminari hanya aman damai rohani dan doa saja. Kenyataannya tidak begitu. Hidup komunitas tidak wajar apa adanya sebagai kesatuan manusia hidup bersama, harus diberitahukan pada si calon. Masa kanak-kanak yang tidak bahagia biasanya menghasilkan sikap defensif atau negatif. Biasanya itu ditekan, disembunyikan selama seminari tetapi akan muncul nanti pada tengah umur. Maka dari itu para calon, pembawa konflik dan pengalaman trauma, luka batin, perlu menjalani konseling (penyuluhan) perkembangan, sebelum diterima dalam lembaga seminari.
Motivasi pribadi sadar, motivasi pribadi yang sadar pada calon seminari itu mencapai perkembangan sepenuhnya, hanya jika si calon sudah meningkat pada kematangan intelektual maupun emosional. Remaja biasanya kurang jelas motivasinya. Selama masa remaja kesadaran akan Tuhan menjadi lebih nyata dan kesadaran ini membawa dia ke seminari. Tidak dianjurkan menerima calon yang belum jelas motivasinya, mengapa ia memilih hidup religius. Mereka harus dibantu tahun demi tahun menjadi dewasa dan memperdalam pengertiannya tentang mempersembahkan diri kepada Tuhan. Motivasi harus dijamin oleh kejujuran dan keikhlasan orang yang menyatakannya. Motivasi kodrati ini sudah menunjukkan keinginan hati untuk menyerahkan diri. Namun orang harus hati-hati dengan ucapan ikut-ikutan dan fantasi yang gemerlapan ini. Calon yang mengejar motivasi itu biasanya takut akan kenyataan dan serba was-was. Jika ini terjadi ia harus diberikan penyuluhan.
Motivasi adikodrati, calon rohani yang masak itu sudah mencapai tingkat mempunyai hubungan dengan Tuhan dan terdorong oleh keinginan itu mau mencari kehendaknya sehubungan dengan arah di dalam hidup. Ia bisa menyisihkan keinginan yang menarik demi kenyataan kehendak Tuhan yang ia lihat. Biasanya jika ada panggilan benar, si calon bertanya-bertanya, kadang-kadang merasa terkuasai dan menolak panggilanya. Si calon menyadari bahwa panggilan berarti mengambil resiko, meghadapi hal yang tak dikenaldan meninggalkan orang-orang tercinta, keluarga dan sanak saudara. Ini bisa menimbulkan peperangan batin, dan bahkan bila motivasi adikodrati sudah jelas, si calon masih bisa ragu, ingin tidak usah mengubah cara hidupnya. Si calon sadar akan kehendak Tuhan, mencari peneguhan dengan bantuan pembimbing rohani. Bagi seorang calon, mau masuk dalam tarekat religius tanpa minta diarahkan oleh pembimbing rohani, hanya menunjukkan bahwa motivasinya tidak mantap. Jika motivasinya adikodrati, si calon amat sadar akan hubungan pribadi dengan Tuhan. Ia mampu menghargai peristiwa dan kejadian di dalam hidup di bawah terang penyelenggaraan ilahi. Ada perasaan tidak pantas dalam menanggapi nilai tinggi tak terhingga dan keistimewaan dipanggil masuk seminari. Motivasi adikodrati itu disadarkan pada kebenaran dan kebenaran ini terbukti dalam kejujuran yang tetap bertahan. Ia tidak merasa ragu sedikit pun untuk membuka diri terhadap pembimbing rohani mengenai kebenaran pengalaman religius maupun rohani, dan juga tentang kesalahan dan keterbatasannya. Bagi si calon tidak ada ada sesuatu yang perlu disembunyikan karena kehadiran Tuhan itu nyata. Ia merasakan keinginan untuk berdoa, keinginan untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Calon yang benar itu yang rajin berdoa. Seorang calon yang dapat mengutarakan motivasi adikodrati, tetapi tidak menganggap doa itu penting, belum menangkap kenyataan bahwa tanggapan akan panggilan Tuhan itu mengandaikan komunikasi dan hubungan dengan Tuhan. Penting selalu orang mempertanyakan kemampuan seorang calonuntuk menjalin hubungan dengan orang lain. Kadan-kadang terjadi, bahwa seorang muda memutuskan masuk seminari, karena di luar ia merasa sepi, tidak dapat menjalin hubungan yang memuaskan. Calon seperti ini tentu tidak cocok untuk menjadi imam atau religius. Mereka membawa pola tertutup, yang mudah menimbulkan sengketa dan perpecahan dalam tugas atau hidup komunitas kemudian. Tidak mampu menjalin hubungan dengan sesama itumenandakan adanya ketidakdewasaan emosional, pada watak atau adanya ketidakserasian dalam pribadi itu. Untuk penyembuhannya dibutuhkan psiko-terapi lama. Kalau tidak bisa menjalin hubungan secara memuaskan, calon akan merasa kecewa, kesal, sedih, sebab hidup doa menjadi sulit, dan hidup komunitas menjadi beban.
3.1.1.3 Meninjau kembali motivasi panggilan
Pada dasar setiap keputusan dan tindakan, yang timbul membawa akibat, di situ ada alasannya, penyebab yang menggerakkan dan mendorong kearah tindakan, itulah motivasi. Yang bergerak dan mengarah kepada maksud tertentu. Inilah salah satu kekuatan besar yang diberikan oleh Tuhan kepada pribadi manusia: motivasi kita yang menggerakkan perbuatan kita. Tidak mau mengambil waktu untuk mejernihkan motivasi itu menuntut tingkat kedewasaan tertentu. Dulu ada masa, imam atau religius masuk rumah pendidikan masih muda belia. Apakah mereka diberi ruang dan waktu untuk menyelidiki dan menjernihkan motivasi mereka dalam pertumbuhannya selama bertahun-tahun kemudian itu. Setia pada komitmen itu hanya mungkin, kalau didasarkan pada rahmat Tuhan dan kejujuran pribadi mengenai motivasi, tumbuh sebagai jawaban penuh kasih, menanggapi panggilan Tuhan. Inilah penyesuaian keselarasan antara hidup pribadi dan panggilan Tuhan, persembahan diri utuh tanpa syarat kepada Tuhan. Pemberian diri sendiri kepada Tuhan itu hanya mungkin, kalau orang sudah merasa bisa menghargai dan mencintai diri sendiri, kalau orang sudah sadar atau bersyukur atas kurnia dan daya kemampuan yang ada padannya. Inilah bentuk persembahan diri, penuh cinta dan suka gembira. Menyadari kurnia itu tidak menutup kesadaran akan keterbatasan diri. Menjadi manusia itu membawa kurnia, tetapi juga dengan batas-batasnya. Tuhan menerima pribadi yang tersucikan itu dengan kurnia dan batas-batasnya. Namun motivasi pribadi di belakang pengorbanan dia itu memainkan peranan mahapenting dalam hubungan pribadi dengan Tuhan, dalam kemampuannnya untuk setia dan mempertahankan keimbangan rasa dan jiwa. Pertumbuhan fisik maupun rohani tidak mungkin, jikalau kebutuhan manusiawi dasar di bidang emosi belum terpenuhi. Orang tidak dapat mengandaikan seorang seminaris akan menaruh perhatian kepada masalah-masalah keadilan sosial atau perdamaian, kebutuhan akan diakui dan kebutuhan akan dihargai. Dia juga tidak bisa menjernihkan motivasinya mengenai keputusannya menjadi imam, kalau ia tidak terus mendapatkan peneguhan dan dukungan daripada kritik dan penolakan. Kemampuan untuk memeriksa dan menilai motivasi sendiri itu tergantung pada penerimaan dan kejujuran terhadap diri sendiri atau dari dalam diri seminaris.
3.1.2. Penyembuhan dan pembebasan dalam diri seminaris
3.1.2.1. Penyembuhan
Ketenangan jiwa dan perasaan humor itu penting untuk pencernaan: kekalutan pikiran atau ketakutan mengganggu kelancaran pencernaan. Emosi yang menimbulkan gangguan pada badan itu: marah, dendam, rasa salah, malu, cemas dan takut. Karena emosi itu daya kekuatan yang besar, maka perlu disalurkan apa mestinya, melalui pengungkapan kata-kata atau lewat badan. Kalau tidak diterima atau ditekan saja, maka emosi itu akan menimbulkan penyakit pada berbagai organ tubuh. Tegangan emosi dapat mengubah fungsi organ tubuh yang normal, dengan menghambat atau mempercepat fungsi kelenjarnya. Orang yang kerap kena celaka itu biasanya orang impulsif. Reaksi impulsif seperti ini disebabkan oleh tekanan emosi yang sudah menumpuk lama.
Gangguan emosi, kalau tubuh tidak berfungsi baik, itulah pertanda bahwa ada sesuatu yang perlu disembuhkan, dan orang yang sakit biasannya tanpa menunggu lama pergi menemui dokter. Ada kemungkinan bahwa pada lapisan rohani pribadi manusia ada sesuatu yang tidak berfungsi baik. Itu menjadi kentara dari perilaku manusia. Ini juga nampak pada pribadi orang. Orang yang murung tak menentu menunjukkan depresi, ada sikap bermusuhan dan negatif dengan semua, ada orang yang pikirannya cepat berubah-ubah ke berbagai arah yang bertentangan, orang yang milih mengundurkan diri, senang menyendiri: semua ini gejala-gejala yang memerlukan penggarapan dan penyembuhan. Di sini orang harus jujur, terus terang dengan dirinya sendiri, sebab itu penting sekali kalau ia mau mencari penyembuhan. Kalau orang tidak mau terus-menerus berusaha untuk jujur ddengan dirinya, ia mudah mengingkari kenyataan yang sebenarnya, bahwa ada gangguan pada dirinya. Mengingkari kenyataan yang terjadi pada diri sendiri, itu suatu langkah menuju penyakit dan gangguan jiwa.
Penerimaan diri, menerima diri sendiri itu menerima kenyataan yang ada pada dirinya. Pribadi sendiri itu suatu pemberian Tuhan dengan keunggulan dan keterbatasannya. Keunggulan yang masih berupa bakat itu perlu dikembangkan untuk memenuhi maksud tujuan Tuhan. Kadang-kadang keterbatasan dilupakan. Kalau orang tidak mau mengakui keterbatasannya atau luka-luka yang ada pada kodrat manusianya, ia sudah mulai membentangkan pola penipuan diri, tidak jujur dengan kenyataan yang sebenarnya. Ini dalam suatu arti sama dengan menolak, tak mau melihat dan mengakui kedirian pribadi yang sebenarnya dan menolak penyembuhan. Penerimaan diri itu dasarnya cinta akan diri sendiri; tanpa cinta diri ini penyembuhan tidak mungkin. Cinta diri seperti ini memungkinkan orang bisa mendengarkan dirinya, mendengarkan pesan-pesan yang disampaikan oleh tubuh, pesan-pesan emosi dan rasa. Apa aku mendengar pesan adanya rasa sakit, kejang, bengkak, pusing? Apa aku tanggap dengan mengambil tindakan seperlunya untuk penyembuhan penyakit badan yang diperlakukan? Apakah tubuhku kuberi istirahat sewajarnya? Apakah aku mendengarkan suara perasaanku? Mana perbuatan sesamaku, yang membuat aku marah? Apakah aku berani menguatkan diri, mengambil langkah untuk membicarakan hal itu dengan dia? apa mendengarkan keluhan cemas dan takut yang disebabkan oleh karena pekerjaanku? Apa yang telah kuperbuat untuk mengatasi kekhawatiran dan ketakutan itu? Mendengarkan diri sendiri itu tidak cukup. Untuk peka menananggapi kebutuhan pribadi, orang harus memutuskan mau bertindak apa mestinya untuk mencapai kesembuhan badan dan jiwa. Ingin sembuh itu merupakan keputusan pokok, yang harus diambil oleh setiap orang. Kalau keputusan ini tidak diambil, proses penyembuhan tidak bisa mulai. Orang sakit yang mau sembuh, itu menemui dokter. Orang jujur yang menerima diri apa adanya itu tidak takut atau malu mencari pertolongan ahli, sesudah merasai gangguan di dalam dirinya.
Cinta dan penyembuhan, daya yang paling kuasa sebagai unsur penyembuhan, yang diberikan Tuhan kepada manusia adalah cinta. Cinta itu bukan rasa romantik merayu saja. Cinta itu daya kekuatan ilahi. Cinta itu mencipta, cinta itu meningkatkan pertumbuhan dan penyembuhan. Perintah Kristus untuk saling mengasihi itu ringkasan kesepuluh perintah bersama, karena hanya dengan saling mencinta kita dapat menghentikan kecendrungan mengkritik yang merusak, yang mau menghancurkan hidup manusia. Hidup di seminari akan berjalan lancar, selama para anggotanya mampu saling mencinta. Kalau anggota-anggotanya jadi lebih mementingkan prestasi dan sukses dalam karya, dan kurang menunjukkan cinta kasihnnya terhadap sesama saudara, hidup komunitas jadi merosot dan bisa hancur. Mencinta itu berarti itu memperhatikan, bersikap lembut, bisa saling menerima tanpa persyaratan apa-apa, saling menghargai kepribadian masing-masing, peka akan perasaan yang satu terhadap yang lain, jujur dan saling meneguhkan. Cinta itu tidak mengawasi dan mau memanipulasikan orang itu sama dengan menghina, menganggap dia rendah saja. Mencinta itu berarti berteman seperjalanan dengan sesama menuju kedewasaan dan keutuhan yang menyeluruh. Orang yang sungguh mencinta itu mempunyai kemampuan membawa orang lebih dekat kepada Tuhan.
Doa sebagai penyembuhan, doa itu alat komunikasi dengan Tuhan yang paling kuasa. Itu tambatan hidup, ungkapan iman dan kepercayaan kita. Sebagai seorang seminari sudah dipilih oleh Tuhan sejak semula untuk menjadi alat cinta dan penyembuhan-Nya. Daya guna yang ada pada manusia dalam mencintai sesama saudara dan mereka yang kita layani, dan juga daya kedayagunaan kita sebagai penyalur penyembuhan hanya bisa mungkin kalau kita bersama dengan Tuhan menjadi penuh kuasa. Karena Tuhan itu cinta dan belas kasih, Ia membiarkan kita berkuasa atas Dia karena doa-doa kita.
Melepaskan itu menyembuhkan, orang melepaskan sesuatu itu baru mungkin, kalau kebutuhan dasar waktu kecil sudah terpenuhi, kebutuhan dasar kita itu apa? Ada kebutuhan akan cinta dan perhatian, kebutuhan akan keamanan, kebutuhan untuk diakui. Hanya bila kebutuhan akan cinta dan perhatian dipenuhi, manusia bisa membangun harga diri. Kalau anak bisa percaya sepenuhnnya kepada orang tua, ia bisa merasa aman dan terlibat. Karena terus diakui oleh semua anggota keluarga, maka orang dalam pertumbuhannya bisa percaya diri dan setia kepada diri sendiri. Tetapi kita harus menghadapi kenyataan, keluarga itu tidak selalu sempurna, dan orang tua tidak sempurna juga. Namun ada juga orang tua dan keluarga, dirahmati oleh Tuhan, dan mampu mencukupi kebutuhan dasar anak-anaknya. Orang tidak pernah bisa menyerahkan diri seutuhnya kepada Tuhan, kalau ia belum seluruhnya melepaskan orang, tempat, benda yang di dalam suatu arti memenuhi kebutuhan di dalam dirinya. Tuhan mahabijaksana berkenan mendasarkan seluruh pertumbuhan hidup kita, fisik, spiritual, emosional pada prinsip melepaskan, terus-menerus, tanpa henti. Kalau bayi lahir, ia harus melepaskan lingkungan nyaman dalam kandungan ibu. Kemudian, kalau anak sudah belajar merasakan kehangatan rasa dan sentuhan mesra dalam pelukan ibu selama menyusu, ia harus melepaskan cara minum dalam persatuan mesra ini sesudah sekian bulan, untuk belajar lagi menyantap makanan yang lebih kuat. Bahkan dalam hubungan antarmanusia selalu orang harus menjalani proses silih berganti melepaskan dan melepaskan lagi. Melepaskan tidak berarti menolak. Melepaskan itu berarti kita membebaskan diri dari orang, tempat dan barang apa mestinya dan seperlunya, untuk menyiapkan diri bagi pertumbuhan berikut. Ketika kita meninggalkan rumah untuk masuk seminari, kita harus melepaskan orang tua, kakak adik, sanak saudara, untuk menyiapkan tempat dalam diri kita bagi Tuhan, pemimpin dan saudara sepanggilan atau kaum awam, siapa saja yang kita temui. Apa yang akan terjadi, kalau proses melepaskan itu tidak kita jalani? Pertumbuhan orang terhambat dan tingkah laku dalam pendapat, tanggapan situasi, tetap belum dewasa, tak memadai. Maka penting sekali kita sadar akan kenyataan bahwa menghadapi seorang calon, tidak cukup kita hanya menguji kesehatannya secara fisik, maupun psikologis, tetapi harus tahu betul juga akan kebutuhannya. Jikalau kebutuhannya tidak dicukupi, ia tidak mampu berkembang secara spiritual atau emosional dan panggilan menjadi imam tidak punya arti lagi baginya. Lalu kita harus berbuat apa dengan sementara anggota di dalam komunitas, yang selama bertahun-tahun masih tetap tidak dewasa, dan masih sibuk berusaha memenuhi kebutuhannya sebagai kanak-kanak kita harus menghadapinya dengan rasa kasihan, dan kalau kita dapat memperoleh kepercayaannya, secara halus kita bisa menyadarkan dia akan timbulnya yang serba merusak. Oleh Karena itu perlu disadari akan kebutuhan mereka yang khas dan menolong mereka menghadapi kebutuhan itu dengan bantuan seorang ahli, atau dengan dukungan dan penerimaan yang penuh cinta senantiasa. Penting sekali kita ingat, bahwa kita harus menjadi pelindung bagi saudara kita. Dalam suatu arti, kita itu ikut bertanggung jawab akan perkembangan dan ketahanan serta kesetiaan mereka. Kita sungguh harus melaksanakan tanggung jawab kita di hadapan Tuhan, membuat saudara kita bahagia dalam hidup religius. Orang yang sengaja tidak mau melepaskan itu membangun dan memperkuat penjara jiwanya sendiri. Orang yang tidak mau melepaskan tempat, kedudukan, hubungan atau benda itu menolak untuk bertumbuh dan menolak kesempatan untuk mandiri dan menjadi bebas. Mengagumkanlah cara Tuhan dalam penyelenggaraan-Nya, melaksanakan pertumbuhan kita pada badan dan jiwa, pertumbuhan itu selalu terlaksana dengan melepaskan sesuatu: orang, tempat, dan benda, kedudukan dan apa saja yang kugenggam karena kuanggap amat berharga. Kalau kita peka dan mau mendengarkan suara institusi kita, peristiwa-peristiwa dalam hidup sehari-hari, Tuhan setiap kali memberikan petunjuk, kalau Ia menginginkan kita melepaskan dan maju selangkah, melepaskan dan bertumbuh menjadi lebih dewasa. Kita harus selalu siap sedia untuk melepaskan juga hidup kita yang tercinta ini. Inilah bentuk kedewasaan yang paling tinggi: tanda jelas nampak adanya kesatuan mistik di mana kita dapat menyerahkan diri kita kepada Allah sepenuhnya dan kepada kehendak-Nya. Inilah kepercayaan tanpa syarat kepada Allah, yang dapat memperolehkan bagi kita kebebasan yang sejati dari takut dan was-was, dari pola tindakan yang merusak. Inilah syarat hidup bahagia sejati yang satu-satunya. Kemampuan kita untuk melepaskan itu tidak hanya tergantung pada kebutuhan dasar yang sudah terpenuhi secara memuaskan, tetapi juga pada harapan akan mendapat dan memiliki sebagai tujuan sesuatu yang mutlak dan abadi. Tetapi kita ingat akan Abraham “Manusia beriman”. Ia harus melepaskan semua keraguan, semua kekhawatiran akan masa depan, ketika Tuhan memanggil dia untuk meninggalkan tanah dan bangsanya, dan menetap di tanah yang dijanjikan oleh Tuhan. Ia harus melepaskan hidup rumah tangga yang tentram, enak dengan rasa aman, dan menempuh perjalanan jauh. Ia harus melepaskan kemenakannya Lot, ketika timbul perselisihan di anatara para gembala mereka. Ia harus melepaskan keraguannya terhadap kaum musafir, lalu ia mendapat kehormatan tamu dari surga. Ia harus melepaskan istrinya Hagar dan anaknya Ismail yang dilahirkan olehnya. Dan ketika Tuhan memberikannya Ishak yang disayanginya, Tuhan minta ia agar melepaskan anak tercinta itu untuk mempersembahkannya sebagai korban. Setiap orang biasa akan mundur dan mulai tawar-menawar dengan Tuhan, berkata bahwa ini bertentangan dengan janji-Nya. Tetapi meskipun cemas, Abraham juga sedia melepaskan anak tunggalnya yang tercinta. Kalau kita merenungkan proses terus-menerus melepaskan dalam hidup Abraham, kita bertatap muka dengan Tuhan, kita dituntut untuk melaksanakan rencana-Nya di dalam hidup kita, kita harus melepaskan juga. Suatu kenyataan lain, yang harus kita ingat ialah: bahwa melepaskan itu bukan hanya salah satu unsur yang tak bisa dilewatkan dalam pertumbuhan kita melebihi segala melepaskan itu satu-satunya jalan, di mana hidup kita sepenuh-penuhnya diintegrasikan dalam hidup dan rencana Tuhan.
3.1.2.2. Pembebasan
3.1.2.2.1. Membebaskan diri dan orang lain
Dari awal penciptaan Tuhan menghendaki kita bebas. Ini kurnia-Nya yang paling berharga kepada kita, dan ia menghormati kurnia itu. Kebebasan untuk memilih itu kurnia Allah paling besar kepada manusia. Tuhan menghormati kebebasan itu. Ia tidak menghalangi orang memilih surga atau neraka. Pemilihan itu tanggung jawab setiap orang, juga dalam soal panggilan, Tuhan menunggu jawaban orang. Sebagai orang yang diutus, sebelum dapat membebaskan orang yang kita layani, kita sendiri harus sudah mencapai kebebasan batinitu tidak berarti mengindahkan penguasa, juga tidak berarti menyisihkan tanggung jawab pribadi. Ini tidak membenarkan orang, kalau ia bertindak tak bertanggung jawab, juga tak membiarkan adanya keputusan diambil secara kurang matang dan tergesa-gesa. Pribadi yang sungguh mandiri itu yang bersatu dengan Kristus, pribadi yang hidup dan bernafas dalam kebenaran-Nya, yaitu kebenaran Kristiani. Kita tidak bakal mencapai kemandirian rohani tanpa Kristus senatiasa hadir di dalam diri kita. Kehadiran-Nya itu membuat kita sadarakan adanya pola bertindakyang bisa merampas kebebasan kita di dalam hati. Pola bertindak seperti itu bisa berupa marah yang tersimpan, permusuhan yang tak terungkapkan, dendam tersembunyi, tidak mau berbicara dengan orang tertentu, haus akan kuasa, takut yang mencengkam, cemas dan was-was selalu ingin menguasai hidupnya. Emosi itu dari sendirinya tidak jahat, tetapi bisa menjadi penjara bagi orang, kalau iatidak dapat menguasai atau menanganinya secara baik dengan bantuan Roh dan dari pemandangan Kristus. Ada juga pola tindakan yang sehat, dikembangkan orang dari sejak masa kanak-kanak. Pola sehat atau tidak sehat dalam bertindak itu dikembangkan sejak masa kecil. Pola ini timbul dalam usaha anak tak berdaya untuk menghadapi lingkungannya. Pola sehat itu memberi hidup dan membebaskan, pola merusak itu memenjara dan memperbudak. Menjadi utuh itu berarti menjadi emosional matang, yaitu bebas dari kebiasaan yang menghambat dan merusak dalam cara berpikir dan bertindak. Kristus bermaksud memanggil kita menjadi utuh dan matang. Tidak mungkin kita mencapai kematangan Kristus, jika kita belum dari sikap bermusuhan, dari dendam yang terus-menerus tetap terbawa, iri, dan benci. Untuk bisa bebas dari pola yang membelenggu ini, kita harus sadar akan kehadirannya di dalam diri kita. Kita harus jujur dalam hal ini dan belajar bagaiman cara menyalurkan emosi ini secara wajar, hingga tidak menimbulkan kerusakan dalam diri kita dan orang lain. Untuk menyalurkan daya energi yang dapat merusak dari dalam, kita perlu belajar menggunakan cara komunikasi yang efektif untuk itu. Kalau kita tidak mau berkomunikasi, kita menumpuk daya energi, yang pada suatu ketika akan meletus menimbulkan kerusakan. Kalau timbul perasaan marah itu jangan diabaikan saja. Akuilah adanya perasaan marah, dan terimalah dengan betul-betul menyadari apa penyebabnya. Pilihlah waktu yang tepat untuk berbicara dengan orang, yang anda marahi. Dengan taktis atau secara halus bukalah rasa marah itu kepada orang yang bersangkutan. Dengan menyatakan perasaan marah, kita tidak dapat mengadili atau mempersalahkan dia. Kita hanya menyadarkannya, bahwa perkataan atau perbuatannya menimbulkan rasa marah pada kita. Taktis dan halus, itu dua unsur amat penting dalam berkomunikasi. Karena emosi itu energi, maka perlu disalurkan denga kata-kata, dan secara fisik, seperti olahraga, pekerjaan yang menguras tenaga, semua amat membantu dalam menyalurkan marah tersimpan. Kristus itu menyalurkan amarah-Nya. Ia jujur dalam hal ini. Ia tidak menyimpan-Nya menjadi benci. Kita hanya dapat jadi manusia pecinta, kalau kita bebas dari perbudakan rasa dan perbuatan yang merusak jiwa. Kita juga perlu bertumbuh mengatasi rasa enggan berkomunikasi. Anak kecil itu malu dan takut berbicara dengan orang dewasa, jika ia tidak percaya. Dapat jadi bahwa anak ini bertumbuh badan menjadi dewasa, tanpa bertumbuh dalam kemampuan berkomunikasi, jadi secara emosional ia terhenti. Ini dapat terjadi pada seminaris juga. Kita ini harus menjadi dewasa dalam komunikasi kita dengan diri sendiri, dengan orang lain dan dengan Tuhan, untuk menjadi bebas, ini juga dapat berarti kita mencari bantuan seorang ahli, bila perlu, untuk belajar komunikasi yang baik. Kita harus ingat, bahwa usaha kita untuk menjadi bebas atau membebaskan diri kita itu akan sia-sia tanpa bantuan rahmat Tuhan. Bantuan adikodrati, itulah yang menerangi dan menguatkan kemauan, yang memberikan daya kuasa untuk membebaskan kita dari pola pemikiran dan perbuatan yang merusak diri kita. Kodrat manusia kita itu terluka dan lemah. Keterbatasan dan kecendrungannya akan dosa hanya mempertebal dan memperkuat kecondongan yang hendak merusak. Kita memerlukan kuasa melebihi kekuatan manusia untuk bebas dari perbudakan yang membelenggu roh kita. Kristus dengan kematian-Nya sudah membebaskan kita dari perbudakan seperti itu. Rahmat kehadiran Kristus dalam diri kita dengan rahmat-Nya, itulah unsur yang tidak bisa dilewatkan dalam pembebasan kita. Kita tidak akan menolong orang lain untuk menjadi bebas berarti menghormati kebebasannya untuk memilih. Seorang religius yang mau mengawasi atau memaksakan dirinya kepada orang lain, juga dengan maksud baik, itu akhirnya memperbudak orang itu, meskipun perkiraanya, ia merasa tahu apa yang baik bagi orang tadi. Orang ini sendiri masih terpenjara dalam keinginan tak sadar mau berkuasa. Misionaris dalam kerasulan akhirnya sampai pada kesadaran bahwa kegagalan dalam penginjilan itu disebabkan oleh usahanya mau memaksakan kebudayaan asing kepada umat dan tidak menghormati wewenang mereka memperpadukan pusaka kebudayaannya dengan pewartaan Kristus dalam inkulturasi. Unsur paling penting dalam menolong orang lain menjadi bebas dan sekaligus mempertahankan kemandiriannya sendiri itu doa yang tak kunjung putus. Setiap kali kita berdoa, kita menyerap daya kekuatan ilahi. Kita bermandikan kuasa Allah tertinggi, yang menanamkan keinginan pada kita serta kekuatan untuk menjadi bebas sendiri dan membebaskan orang lain.
3.1.2.2.2. Bebas dari penjara jiwa
Karena dosa asal, setiap orang dilahirkan dalam penjara jiwa. Seperti kita perlu dibebaskan dari belenggu dosa oleh Allah penebus, begitu juga kita memerlukan kuasa rahmat-Nya untuk membebaskan kita dari pola-pola tindakan yang mengakibatkan penghancuran diri dan orang lain. Menjadi utuh itu berarti menjadi bebas dan pulih utuh secara mental, emosional dan fisik. Kesucian hanya mungkin, kalau orang sudah mencapai kebebasan, keluar dari penjara jiwa dan sembuh dari luka-luka batin. Memang benar hanya pertolongan Tuhan memungkinkan kita mencapai kesucian, tetapi kita juga bertanggng jawab untuk menanggapi rahmat-Nya. Menanggapi rahmat itu berarti memilih dan menggunakan setiap usaha untuk mencapai keutuhan pribadi. Menanggapi rahmat itu berarti jujur terhadap diri sendiri dan sadar akan pola-pola tindakan yang terbawa dalam dirinya. Kita semua ini membawa pola-pola tindakan yang bisa membangun hidup dan menghancurkan. Kemampuan kita untuk mencinta, peka terhadap orang lain, lembut dan halus, itu semua sifat yang mengarahkan kita kepada kebebasan jiwa, tetapi rasa tidak puas, permusuhan, benci, dengki dan iri, keinginan menguasai dan mengawasi itu palang-palang penjara yang kuat sekali. Apa kita sadar akan belenggu-belenggu ini? Atau kita membenarkan diri dan menekan semuanya itu kembali ke bawah sadar, sampai kita tidak melihat lagi, bahwa kita ini hidup terpenjara? Kalau kita melakukan meditasi, apakah kita berani menatap pola tindakan yang memenjara kita? Apakah kita jujur, mau mengakui adanya? Apakah kita teguh berpendirian, mau membebaskan diri dari penjara kita untuk menyerahkan diri seutuhnya kepada Tuhan? Penyerahan diri kepada Tuhan itu harus utuh dan menyeluruh? Pemberian hanya sebagian itu tidak jujur, itu tidak pantas dijadikan persembahan.
3.1.3 Bimbingan dan latihan rohani
3.1.3.1 Bimbingan rohani
Bimbingan rohani diperlukan oleh orang-orang yang belum berpengalaman dalam hidup rohani menurut hidup tertentu. Bimbingan rohani diberikan oleh orang yang mahir dalam hidup rohani menurut bentuk hidup tertentu pula. Bagi Ignasius bimbingan rohani mutlak diperlukan untuk menghindarkan kesalahan-kesalahan fatal hidup rohani. Ciri khas bimbingan rohani Ignasius ialah bertujuan menemukan kehendak aktual Allah dan melakukannya. Bimbingan rohani merupakan usaha manusia untuk membebaskan diri dari diri sendiri dengan memupuk sikap lepas bebas dan sikap taat kepada kehendak Allah. Bimbingan rohani merupakan bantuan untuk masuk ke dalam gerakan-gerakan batiniah jiwa, yaitu kepada tindakan rahmat dan bimbingan Roh Kudus. Bimbingan rohani bagi Ignasius merupakan usaha untuk masuk ke dalam pengalaman rohani, yaitu pengalaman akan anugerah rahmat dalam peristiwa hidup konkret. Fokus bimbingan rohani ialah mengalami kehadiran Allah dalam segala peristiwa hidup, yang tidak lain dan tidak bukan adalah menyadari secara mendalam arah hidup sesuai dengan kehadiran Allah yang dinamis. Bimbingan rohani bergerak dalam hidup manusia seutuhnya, pikiran, kehendak, kecendrungan, perasaan, dan emosi, peristiwa hidup dalam menjawab kehadiran Allah. Bimbingan rohani merupakan usaha untuk mengarahkan hidup konkret dan aktual sesuai dengan orientasi dasar hidup kristiani. Adapun model bimbingan rohani yang perlu dikembangkan bagi para seminaris ialah:
Bimbingan yang edukatif dan informatif
Model bimbingan rohani ini bercirikan banyaknya pengajaran dan informasi Yang diberikan. Biasanya model ini diberikan pada masa-masa permulaan hidup rohani dan agama. Yang lebih menonjol bahwa pembimbing banyak memberi informasi berupa ajaran teologis, moral ataupun rohani. Bimbingan seperti ini sifatnya sementara. Biasanya jelas pada permulaan maupun akhirnya. Orang yang dibimbing biasanya belum sebegitu berpengalaman dalam hidup rohani.
Bimbingan yang kebapaan atau keibuaan
Model inilah yang menumbuhkan pengertian bapa rohani atau ibu rohani dalam sejarah kerohanian. Hubungan yang terjalin ini mengarah ke hubungan antara bapa atau ibu dengan anak rohani. Kalau di seminari sudah jelas ada pembimbing rohaninnya seperti para Imam, frater, dan juga para guru. Jadi para pembimbing harus meniru sifat kebapaan atau sifat keibuan bagaimana seminaris layak dan mengerti untuk dibimbing dengan baik.
Bimbingan rohani dalam persahabatan
Model inilah yang lebih diperhatikan dalam uraian ini. Dasar untuk membangun hubungan ialah cinta persaudaraan antara sesama anak-anak Allah. Orang yang membimbing menyediakan diri untuk melayani dan membantu saudaranya dalam memperkembangkan dan menumbuhkan hidup rohani. Hubungan ini megandaikan rasa saling hormat, saling terbuka, dan saling mempercayai. Pembimbing sungguh menjadi sahabat dan penunjuk jalan dalam perjalanan hidup rohani, dan bukan menjadi pembentuk hidup rohani seseorang. Pembimbing membantu oang untuk membentuk hidup rohaninya.
Bimbingan Menurut situasi orang yang dibimbing
Bimbingan diberikan sesuai dengan kebutuhan dan situasi hidup orang maupun panggilannya. Bimbingan rohani dapat dibedakan menurut kebutuhan konkret orang, seperti bimbingan kepada kaum muda, bimbingan kepada keluarga, bimbingan bagi orang yang mengatasi krisis hidup, bimbingan bagi orang yang akan menentukan jalan dan panggilan hidup, dan lain sebagainya.
Proses bimbingan rohani itu terjadi dengan adanya hubungan yang dibina antara orang yang membimbing dan yang dibimbing dengan tujuan pasti, yaitu pertumbuhan dan perkembangan hidup rohani orang yang dibimbing. Karena proses ini terjadi dengan perjumpaan-perjumpaan dalam rangka memperkembangkan hidup rohani, maka biasanya berjalan dengan cukup teratur, entah orang yang minta bimbingan itu mengalami krisis hidup atau tidak. Perjumpaan ini bukan hanya sekeadar suatu pertemuan untuk mengadakan konsultasi atas sesuatu masalah khusus belaka, melainkan suatu hubungan yang cukup tetap demi kepentingan perkembangan hidup rohani. Pertemuan ini mungkin dilakukan seminggu sekali, dua minggu sekali, sebulan sekali ataupun dua bulan. Dalam saat-saat tertentu, seperti dalam krisis atau kesukaran, mungkin lebih kerap, sedangkan dalam keadaan lain lebih jarang. Yang penting ialah adanya kelangsungan yang cukup tetap dan teratur. Mungkin makin lama pertemuan itu makin jarang pula. Pertemuan yang cukup tetap dan mungkin berlangsung lama ini membuat hubungan yang terjalin antara dua orang menjadi kurang lebih tetap. Bimbingan rohani membangun hubungan antara orang yang satu dengan orang lainnya. Perhatian utama dalam membina hubungan itu ialah untuk memahami dan mengerti panggilan yang khusus dan personal dari Allah kepada orang yang dibimbing, sekaligus untuk memahami bagaiman orang itu dapat menjawabnnya dengan khusus dan pribadi. Spiritualitas kristiani memang mempunyai segi komuniter. Meskipun penghayatan hidup kristiani itu tergantung dari aspek kebersamaan dalam Kristus, pada akhirnya setiap orang mempunyai kewajiban untuk menghayatinya sebagai realita personal. Hidup rohani sebagai realita personal itu memang khusus, sebagaimana hubungan antara Allah dengan orang bersangkutan itu khusus dan pribadi pula. Bimbingan rohani lebih memperhatikan pengalaman dan penghayatan hidup rohani yang personal. Tujuan dari proses bimbingan ini ialah pertumbuhan hidup rohani orang yang dibimbing. Hal ini perlu tetap diperhatikan dan diingat, terutama oleh orang yang membimbing, sebab dalam praktek kerap kali menjadi dilupakan. Pertumbuhan hidup rohani personallah yang menjadi tujuan utama, yaitu suatu pertumbuhan yang harus terjadi dalam hubungan pribadi orang yang dibimbing dengan Allah. Saran untuk mengadakan bimbingan rohani ialah pertama-tama perjumpaan pribadi antara orang yang membimbing dan orang yang dibimbing. Perjumpaan ini biasanya terjadi secara fisik, tetapi juga melalui surat. Pertemuan itu mempunyai tujuan yang jelas, yakni pertumbuhan hidup rohani, hidup iman, dan pembimbing masuk untuk membantu pertumbuhan itu.
3.1.3.2 Latihan rohani
Latihan rohani merupakan hidup rohani, jadi ada unsur-unsur melatih dan menggerakan daya-daya rohani manusia. Daya-daya rohani manusia berkaitan erat dengan daya-daya jiwa. Dengan kata daya disini dimaksudkan baik kemampuan serta kekuatan yang menggerakkan hidup manusia. Sebagai daya rohani manusia, gerak rohani itu menuju kepada kesadaran, yang secara dinamis berisikan suatu proses dinamis penemuan diri, hadir pada diri, pengenalan diri, dan penguasaan diri serta pengosongan diri. Perjalanan rohani seperti itu ditujukan ke keterbukaan kepada misteri hidup dalam Tuhan. Dengan kata lain, latihan rohani merupakan saat mengolah hidup berdasarkan prinsip-prinsip tidak hanya yang bercirikan kemanusiaan belaka tetapi terutama berdasarkan prinsip-prinsip adikodrati. Latihan rohani merupakan pengolahan dan pengesahan daya hidup serta daya jiwa intuk menghayati hidup ilahi seperti yang Nampak dalam diri Kristus. Maka sangatlah penting kembali kepada diri, aktif bergulat untuk menyediakan diri sepenuhnya kepada tindakan Allah sebagai intimitas hidup terdalam hidup. Dialog atau perjumpaan antara kodrat lewat berbagai daya jiwa menuju ke kesadaran terdalam dengan misteri tindakan Allah atau hidup Allah dalam Kristus biasanya akan menumbuhkan pengalaman batin. Dari situasi batin seperti itu, orang atau seorang seminari yang melatih diri akan semakin sadar akan arah kesadaran. Agar itu terjadi, maka latihan itu semakin mendayagunakan seluruh kemampuan jiwa, seperti kehendak, pengertian, pemahaman, ingatan, emosi, dan afeksi serta daya-daya lainnya. Karena itu akan sangat bergunalah, kalau kita sejenak mendalami dinamika daya jiwa manusia dalam batin serta dalam proses latihan rohani, karena dalam daya-daya jiwa itulah manusia bergulat melatih diri untuk mengarahkan hidup kepada Tuhan. Dalam gerak daya jiwa manusia mengadakan latihan hidup rohani. Seluruh daya jiwa digerakkan, sehingga kesatuan internal antara daya jiwa itu, yang merupakan geraka asasi manusia mencuat dan menjadi prinsip pengarahan hidup dan yang menjadi gerak dasar hidup ialah suatu misteri hidup manusia itu sendiri, yang secara dinamis sudah ditanam pada mulanya dalam diri manusia. Maka untuk menggerakkan proses serta dinamika latihan rohani kita atau sebagai seorang seminari untuk menghidupkan realitas terdalam diri sebagai makhluk religius dan mistik, yaitu hidup dalam hubungannya dengan Allah. Di dalam kehidupan seminari, perlu melatih diri dalam mengembang aspek rohani yang ada seperti melakukan meditasi atau kontemplasi , doa (Devosi, novena, Rosario, dan sebagainya), membaca kitab suci sebagai santapan jiwa kita setiap hari, mengikuti ret-ret, dan kegiatan rohani yang lain yang memampukan kita dalam pengembangan rohani.
Pengaruh peningkatan aspek spiritualitas
3.2.1 Pengenalan diri dengan baik
Ada beberapa pengenalan diri yang membuat kita menjadi kepribadian yang lebih baik dan semakin mendekatkan diri dengan Tuhan dan sesama:
3.2.1.1 Kesadaran diri dan intim dengan diri sendiri
Akibat kesadaran diri secara kodrati, adalah menjadi intim dengan diri sendiri. kemampuan untuk membentuk hubungan akrab dan sehat itu mulai dari diri sendiri. Intim dengan diri sendiri itu juga mencakup mendengarkan diri sendiri. ini berarti juga memperdengarkan suara tubuh, kalau ada tanda-tanda keletihan atau kesakitan, tanda-tanda hambatan karena rintangan atau pertanda rasa gembira. Kalau kita mendengarkan diri kita, kita mendengarkan suara bisikan Tuhan. Lewat diri kita Tuhan menjalin hubungan dengan kita, melalui diri ini kita menjawab Tuhan dan orang-orang di sekitar kita.
3.2.1.2 Penerimaan Diri
Diri kita itu merupakan pusat komunikasi, maka itulah sumber keberhasilan di masa dewasa, dan juga menjadi penyalur utama kebahagiaan kita. Pada zaman teknologi ini telepon kita anggap alat biasa. Tetapi coba gambarkan ada sesuatu, dan telepon tidak jalan. Dengan kemacetan ini kita terpaksa menyadari nilainya komunikasi dan betapa harus dihargai tinggi. Jika orang atau sebagai seorang seminaris tidak menghargai diri sendiri, maka menjadi tidak mungkin menghargai orang lain. Kemampuan kita mencintai Tuhan dan sesama itu mulai dengan diri kita sendiri. hanya apabila kita bisa melihat diri kita sebagai pemberian Tuhan yang berharga, kita bisa menghargai orang lain sebagai pemberian Tuhan kepada kita. Meskipun kita ini pemberian Pencipta, namun cinta kita harus mengakui bahwa kita ini bukan Allah, bukan malaikat. Kita ini terbatas dan tidak sempurna. Jika salah seorang seminaris muak akan diri sendiri, dengan sendirinya ia muak akan orang lain juga, dan tidak sabar terhadap siapa saja yang tidak sempurna. Pribadi yang menerima diri sendiri itu orang yang menjadi matang karena penerimaan diri sendiri. Ia sadar akan keistimewaan dan keterbatasaannya. Ia menghargai kurnianya, tetapi juga sabar menerima kekurangannya, sebagai manusia, kedosaannya dan kelemahannya.
3.2.1.3 Bersatu dengan dirinya
Bersatu dengan diri sendiri itu salah satu unsur yang menentukan doa atau hubungan orang dengan Tuhan. Kita ini jujur nyata kepada Tuhan dan kepada orang lain, jika kita jujur nyata kepada diri kita sendiri. Jujur nyata kepada diri sendiri itu sesungguhnya juga berarti terintegrasi atau menyatu dengan sifat, bakat dan keterbatasan pribadi. Jika orang atau seminaris tidak mau mengenali, tetapi melupakan bakatnya dan tidak mau mengembangkan itu, maka ada sesuatu yang merana dan mati dalam dirinya. Ada sesuatu yang kurang lengkap di dalam hidupnya. Ia merasa belum mapan dan mantap. Tuhan memberikan talenta, tidak untuk dipendam, tetapi untuk dikembangkan dan dinikmati, menjadi keutuhan pribadi demi kemuliaan Tuhan. Mengembangkan talenta dan bakat itu bukan kemewahan, kita melakukan kehendak Tuhan, itu pengutuhan, integrasi diri. Tak bedanya orang senang menemukan bakat dan kemampuannya, ia juga harus menerima keterbatasannya. Rendah hati yang benar itu tidak berarti menghina dan meremehkan diri. Rendah hati yang benar itu secara jujur dengan cinta menerima kenyataan, bahwa setiap orang mempunyai keterbatasannya. Rendah hati yang benar juga berarti dengan damai menerima kekeliruan dan kegagalan, menerima secara tenang, bahwa ia tidak diterima oleh orang lain. Memang membuat kesalahan itu sakit di hati, begitu juga gagal menyelesaikan sesuatu atau tidak terima dan tidak diakui, meskipun orang bekerja bertahun-tahun dalam usahanya. Yang penting ialah penerimaan diri oleh diri sendiri. Jika orang sudah bisa menerima diri secara utuh, hidup tidak lagi tergantung pada pujian orang lain. Orang bisa tetap lembut dengan dirinya sendiri meskipun dirundung kemalangan dan kegagalan. Doa jadi menyenangkan hanya kalau orang punya harga diri. Bahagia dengan dirinya itu obat penolak cemburu dan iri hati. Seorang seminaris bisa menerima keunikannya itu bisa senang dengan dirinya dan tidak perlu memasang kedok atau berpura-pura. Pribadi menjadi pribadi yang benar nyata dan asli. Dengan menerima dan menyatu dengan dirinya sendiri, sebagai pribadi terbatas, namun dirahmati, maka integrasi pribadi menjadi mungkin melalui jalan pertumbuhan dalam cinta.
3.2.2 Hubungan relasi dengan sesama dan Tuhan
Dalam setiap komunikasi ada hubungan terjalin. Hubungan kita dengan sesama itu mencerminkan hubungan kita dengan Tuhan. Kadar hidup doa kita tergantung pada hubungan kita dengan sesama manusia. Permusuhan itu menyumbat kemampuan untuk berdoa, menyumbat kemampuan untuk percaya dan mencinta Tuhan. Sebaliknya orang yang biasa mencinta, peka menaruh pengertian dan pengampunan, mendapatkan damai dan kepuasan dalam doa. Tidak ada kekacauan di dalam jiwanya. Hubungan baik, selaras, terhadap orang lain itu dengan sendirinya diteguhkan dalam hubungan dengan Tuhan. Kalau doa menjadi sulit dan kering, maka bisa membantu dengan mengajukan pertanyaan ini: bagaiman hubunganku dengan sesama anggota? Apa aku kurang menaruh perhatian? aku marah? dendam? mempersalahkan? curiga? Kalau begitu, berdamailah dengan orang-orang tersebut, baru kemudian unsur penyumbat yang menjadi penghalang doa itu akan lepas, dan pengalaman doa akan menjadi penuh damai dan rasa gembira. Hidup doa yang mantap memperlancar dan meningkatkan integrasi pribadi, menjadi menyeluruh utuh. Berikut doa yang dapat menyelenggarakan integrasi ini ialah:
Doa itu memberikan rasa aman kepada orang.
Doa memulihkan keimbangan rasa, emosi, dan demikian mengembalikan rasa senang dan damai kepada jiwa.
Hubungan dengan Tuhan dalam doa itu membawa perkembangan rohani.
Doa itu mempertajam pandangan tentang realitas hidup dalam terang keabadian.
Doa memperteguh dan memperkuat kemandirian pribadi.
Doa memantapkan kurnia dan rahmat, yang diberikan oleh Tuhan kepada orang.
Doa menimbulkan kesadaran nyata akan kebenaran akibat penyembuhan dan pembebasan karena hubungan yang terjalin dengan Tuhan.
Doa memungkinkan orang bisa menghirup semangat Kristus yang benar.
Doa mengangkat orang sampai dapat mengatasi perbenturan dan penderitaan dalam hidupnya.
Seorang pendoa itu merasa aman di dalam Tuhan dan tenang dalam hubungannya dengan sesama manusia. Kekuatannya didasarkan pada iman dan kepercayaan akan cinta kasih Bapa yang tak terhingga. Kalau ada suatu sarana, di mana Tuhan akan kalah, sarana itu adalah doa yang setia. Karena doa itu suatu bentuk komunikasi, maka perlu kita memperjelaskan pendapat pribadi kita tentang Dia atau pribadi yang kita ajak berkomunikasi. Hal ini akan menyadarkan pada kita, apa alasan dan sebab di belakang sikap kita terhadap doa. Pendapat kita tentang Tuhan itu biasanya dipengaruhi oleh hubungan kita dengan orang tua. Mungkin membantu kalau kita mengingat kembali gambaran kita tentang orang tua dan membandingkan itu dengan pendapat tentang Tuhan. Tidak sulit orang mempertahankan pendapat sehat tentang Tuhan yang mencinta, mengampuni dan berbelas kasih, kalau ia punya pengalaman itu dari orang tuanya. Sebaliknya orang merasa doa itu menakutkan karena gambaran Tuhan yang menghukum itu bisa melacak kembali perasaan takut dan curiga itu dari hubungannya sebagai anak dengan orang tuanya sendiri. Untuk bisa menanggalkan gambaran negatif ini, orang harus terus berusaha secara sadar memisahkan gambaran orang tua dari gambaran Allah. Membantu sekali orang terus-menerus mengingat gambaran Tuhan seperti disajikan oleh Kristus di dalam Injil. Perjanjian lama menggambarkan Allah yang menghukum, kadang-kadang murka. Kristus tidak menggambarkan Allah seperti itu. Ia selalu menekankan penyelenggaraan Tuhan penuh cinta, rasa belas kasihan-Nya dan kesediaan-Nya untuk mengampuni tanpa ada batas-batasnya. Mengembangkan rasa percaya penuh tanpa syarat akan Allah yang mencinta dan berbelas kasih itu menanam rasa aman di dalam hati dan memperlancar komunikasi berdasarkaan cinta. Tetapi kita juga harus ingat, bahwa karena kita menyebut diri kita anak-anak Allah, kita juga mempunyai kewajiban untuk memancarkan tanda-tanda perhatian, pengampunan dan belas kasihan keluar. Pemikiran kita tentang Allah itu tidak hanya didasarkan pada refleksi, tetapi juga pada pengalaman kita sehari-hari dengan pribadi-pribadi lain, khususnya kita sebagai seminaris yang hidup berkomunitas. Kehadiran satu orang yang sikapnya memusuhi sudah cukup untuk mempengaruhi hidup doa anggota-anggota lainnya. Orang yang memusuhi dan tidak menunjukkan cinta itu menghancurkan gambaran Allah yang benar. Mungkin baik kita kerap bertanya-tanya: apakah aku meningkatkan gambaran positif tentang Tuhan dan memperlancar doa atau aku menghancurkan gambaran Tuhan yang mencintai manusia karena sikapku bermusuh dan pahit? Oleh karena itu sebagai seminaris, tetaplah menjalin komunikasi dengan baik kepada sesama maupun kepada Tuhan. Tentu itu semua demi kemuliaan-Nya yang tiada bandinganya dengan kehidupan duniawi kita saat ini.
3.2.3 Pengembangan rohani yang matang
Hidup rohani bertujuan untuk memperdalam dan memperkembangkan kesatuan hidup seseorang dengan Allah. Kesatuan itu tidak dapat diperjelas secara objektif, seperti dengan menaati hukum, kesehatan mental, norma hidup bersama, dan sebagainya. Buah-buah Roh yang berkembang dalam hidup seseorang, perlu dilihat dalam satu kesatuan, tidak boleh dipandang secara terpisah atau berdiri sendiri-sendiri. keutamaan yang satu harus mengandung keutamaan yang lain. Tidak ada konflik satu sama lain, melainkan satu dan bulat. Jelasnya, tidak mungkin ada cinta kasih bila tidak ada kesabaran, kesetiaan, dan lain sebagainya. Demikian pula, tidak mungkin ada kesabaran sejati atau kesetiaan sejati, bila tidak ada cinta kasih atau kelemahlembutan, dan lain sebagainya. Lebih jauh, buah rohani akan semakin semarak bila dilandasi bebrapa hal berikut:
Pengalaman otentik atas Yesus.
Hidup dalam keyakinan bahwa Yesus tetap menyertai meski dalam tantangan sesulit apapun.
Mau berjuang melawan segala bentuk kejahatan, dosa dan segala keadaan yang tidak manusiawi.
Keberanian untuk mempertahankan belas kasih dan keadilan.
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Keinginan untuk mengembangkan hidup berdasarkan kenyataan terdalam dari hidup ini tidak cukup hanya dengan melakukan peraturan, kebiasaan, hukum atau ajaran. Keinginan demikian memerlukan suatu kesadaran pribadi yang tinggi dan daya kreativitas serta keterampilan untuk menuangkan ke hidup dengan tepat. Jalan penghayatan hidup rohani memang sukar. Karenanya, orang memerlukan bantuan dan bimbingan dari orang lain yang lebih berpengalaman. Orang tidak semata-semata menjadi bermutu dan berkualitas bila tidak diasupi dengan daya-daya rohani yang sudah terbimbing selama bertahun-tahun. Dibutuhkan bertahun-tahun bagi kita untuk bertumbuh menuju kedewasaaan, dan dibutuhkan semusim penuh bagi buah-buahan untuk menjadi tua dan matang. Hal yang sama berlaku untuk buah-buah Roh. Pengembangan karakter yang serupa dengan Kristus tidak bisa tergesa-gesa. Pertumbuhan rohani, seperti halnya pertumbuhan fisik, membutuhkan waktu yang panjang. Panggilan hidup manusia terus bertumbuh dan berkembang dari hari ke hari menuju kesempurnaan. Pertumbuhan dan perkembangan hidup merupakan suatu proses yang tidak pernah selesai, karena panggilan hidup manusia harus berjalan dalam ruang dan waktu, serta harus diwujudkan dalam relasi dan komunikasi dengan orang-orang lain di dalam dunia dan masyarakat, di dalam keluarga, komunitas atau di lembaga seminari. Secara spiritual, pertumbuhan panggilan hidup manusia menjumpai berbagai macam halangan dan rintangan, setiap tantangan dan persoalan selalu merupakan bagian integral seutuhnya dari pertumbuhan spiritual manusia menuju inti panggilannya dalam hubungan yang akrab dengan Allah. Bagi manusia pada umumnya dan bagi kaum religius terkhusus bagi seminaris, tantangan dan rintangan, kesulitan atau krisis apa saja dalam pertumbuhan dan perkembangan spiritual selalu merupakan jalan wajib menuju persekutuan dengan Kristus, yang memanggil mereka untuk mengikuti-Nya, untuk meninggalkan hidup mereka yang biasa- biasa saja, dan untuk memasuki hubungan yang mesra dengan Dia. Justru rahmat khas hubungan mesra itulah, yang dalam hidup bakti (religius) memungkinkan dan bahkan meminta penyerahan diri seutuhnya kepada Kristus. Dengan cara demikian, kita semua, khususnya sebagai anak seminari atau kaum religius, menurut jalur hidup dan jalur tugas masing-masing akan berani melangkah menuju hari esok atau menuju masa depan dengan harapan akan kebangkitan, siap sedia mengikuti teladan Kristus yang datang di antara kita agar mempunyai hidup dan memiliki segala kelimpahan. Yesus Kristus tidak akan meninggalkan kita, bila kita dengan tekun dan sabar menjalani apa yang menjadi kehendaknya.
4.2. Saran
Dengan demikianlah penulis mengakhiri karya tulisan ini dengan segala kekurangannya ataupun kesalahan teknis yang mungkin para pembaca kurang menarik untuk membacanya. Namun pikiran-pikiran yang sudah dituangkan dalam karya tulis ini dengan penuh harapan dan mengajak para pembaca untuk mengenal dan mengetahui, merenungkan dan menghayati, mengalami dan menikmati perkembangan hidup dan pertumbuhan spiritual diri kita atau panggilan kita. Persekutuan yang mesra dengan Tuhan dan persatuan yang akrab dan ramah dengan sesama dan alam sekitar adalah puncak dari pertumbuhan dan perkembangan spiritual kita yang memuaskan, menggembirakan, dan membahagiakan.
DAFTAR PUSTAKA
Artikel-Artikel
Anonim,II Corso della Formazione dei Formatori, di Collegio San Paolo Apostolo, Roma, 26
Settembre 1994.
Cardinal Jose Saraiva Martins, “Padre Pio: One with sinners”, dalam L’Ossevatore Romano, No.
24, 12 June 2002.
Castellano Jesu, “Unione con Dio”, dalam Ermanno Ancilli (ed.), Dizionario Enclicopedico di
Spiritualita / 3, Citta Nuova, Roma, 1990.
F.j., “The ideal of the religious life of the active life as found in papal documents”, dalam
Donum Dei, Canadian Religious Conference, Canada, 1959.
Gottler Georges, “Incarnation: Eternity in Time”, Reflection on the Holy Father’s Apostolic
Lettter Novo Millenio Ineunte’- 6, dalam L’Osservatore Romano, No. 36, 5 September 2001.
Isaak Servulus, Khalwat Bagi Para Imam Diosesan Ruteng, Kisol, 16 Oktober 2000.
Pope John Paul II, “God’s essence is mystery of infinitive love”, Catechesis at General Audience
of Wednesday, 6 October 1999, dalam L’ Osservatore Romano, No. 41, 13 October 1999.
-------, “Love is the greatest of the spirit’s gifts”, Catechesis at General Audience
of Wednesday, 20 October 1999, dalam L’ Osservatore Romano, No. 43, 27 October 1999.
-------, “Keep evangelization first”, discourse to Catholic Mission Work ‘missio’, on Monday, 3
September 2001, dalam L’ Osservatore Romano, No. 37, 12 September 2001.
-------, “Mystery and Providence of God”, Address during the general Audience, on Wednesday,
31 October 2001, dalam L’ Osservatore Romano, No. 45, 7 November 2001.
-------, “The Lord will judge with justice”, Catechesis at General Audience
of Wednesday, 30 October 2002, dalam L’ Osservatore Romano, No. 45, 8 November 2002.
-------, “Radiscover the Hope of Eternal Life”, Remarks at Angelus, 3 November 2002, dalam L’
Osservatore Romano, No. 45, 8 November 2002.
Sindhunata, “Seks Undercover: Ikon Bokong Inul”, dalam BASIS , No. 03-04, Thn ke-52, Maret-
April 2003.
Wuwur D. Hendrikus, Sarjana: Suara Batin dan Pembebas, Pidato pada acara Wisuda Sarjana
negara STFK Ledalero, 2002.
Buku-Buku
Agudo, Philomena. Aku Memilih Engkau.Yogyakarta: Kanisius. 1988.
Chiffolo, f. Anthony (Penghimpun). Paus Yohanes Paulus II Dalam Kata-Kataku Sendiri.
Jakarta: Obor., 2002.
Darminta, J. SJ. Praksis Bimbingan Rohani. Yogyakarta: Kanisius. 2006.
Hart, N. Thomas. Mendengar Dengan Hati Pedoman Para Pendamping Kristen. Ende: Nusa
Indah. 2000.
Loyola, Ignasius St. Latihan Rohani.Yogyakarta: kanisius. 1993.
Mohamad, Goenawan. Kumpulan “Catatan Pinggir”, Jakarta: Grafiti Pers. 1982.
Singgih, G. Emanuel. Reformasi dan Transformasi Pelayanan Gereja Menyongsong Abad ke-21.
Yogyakarta: Kanisius. 1997.
Dokumen-dokumen dan Kamus
Kongregasi Pengajaran Iman, Instruksi Mengenai Kebebasan Dan Pembebasan Kristiani, (SDG
No. 2), Dokpen KWI, Jakarta, 1986.
Sugono, Dendy. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama. 2008.
Internet
Course Hero: Homework Answers, https://WWW.coursehero.com/file/68650922/agama-resumedocx/
Komentar
Posting Komentar