Memahami Realitas Transendental Sebagai Prinsip Keteraturan Terhadap Eksistensi Manusia Dan Dunia
Manusia ada di dunia bukan sesuatu yang terjadi secara kebetulan. Tuhan tidak pernah melakukan apapun secara kebetulan, dan Dia tidak pernah membuat kesalahan atau keliru dengan ciptaan-Nya (bdk. Mzm 138:8). Oleh karena kasih-Nya kita diciptakan dan Ia ingin menyatakan kasih itu dengan menganugerahkan kita sebagai keunggulan ciptaan-Nya dari segala makhluk (bdk. Yak 1:18). Berada sebagai manusia berarti memanusiakan dunia. Dengan memanusiakan alam, manusia memanusiakan dirinya sendiri. Kita dapat menyadari bahwa dalam alam terdapat proses-proses yang terarah ke suatu tujuan. Keterarahan itu tidak dapat dijelaskan sebagai kejadian kebetulan. Apabila proses-proses itu bukan kebetulan, proses-proses itu hasil pengarahan. Maka, proses-proses terarah dalam alam semesta menunjuk pada realitas yang mengarahkan. Realitas itu adalah apa yang disebut Tuhan . Tuhan adalah realitas transendental yang dapat ditangkap oleh objek kesadaran kita yg dianugerahkan-Nya. Pengetahuan alam kita bermula dari indra dan membentang sejauh dapat dipandu oleh bantuan objek sadar. Karena objek sadar adalah ciptaan Tuhan, kita mengetahui keberadaan-Nya, tetapi kita tidak dapat mencapai pengetahuan yang cukup tentang Tuhan dengan bantuan objek sadar, karena objek tersebut adalah dampak yang tidak sepenuhnya sebanding dengan kekuasaan Ilahi . Kita dalam pengalaman sehari-hari bersentuhan langsung dengan kenyataan mutlak personal, bahwasannya kita terkagum dengan tatanan dan keteraturan alam yang menunjang kehidupan kita. Konsep menunjukkan bagaimana sistem-sistem di alam (temasuk sistem sosial) memiiki kemampuan untuk mengatur diri sendiri sedemikian sehingga mencapai bentuk-bentuk kestabilan tertentu jika dibiarkan tanpa gangguan . Manusia adalah suatu kesatuan dengan dunia alam (imanensi), namun sekaligus bertransendensi terhadapnya (transcendence). Karena kesatuan inilah dunia berfungsi dalam proyek manusia tentang dirinya. Manusia berusaha untuk membuat dunia menjadi rumahnya. Dengan demikian, dunia dengan segala potensialitasnya ikut terwujud . Namun di sisi lain, manusia dihantami dengan bencana-bencana alam, penderitaan, dan sebagainya yang mengguncang umat manusia untuk mempertanyakan keberadaan dan kemahakuasaan Allah terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi. Saya mencoba menggali secara singkat yang pertama tentang pembuktian adanya Tuhan. Secara singkat, ada lima jalan yang menurut St. Thomas Aquinas bahwa adanya Allah. Tetapi saya membatasinya hanya menarik kesimpulan, bahwa St. Thomas Aquinas menghantarkan kita kepada ruang terbuka untuk percaya. Karena adanya Allah “diketahui dengan sendirinya (per se notum)” . Kedua adalah masalah ‘teodisae’. Masalah teodisae pertama kali oleh filosof Jerman Gottfried Leibniz (1646-1716). Teodisae adalah pembenaran Allah. Yang dimaksud adalah bahwa adanya kejahatan dan penderitaan kelihatan sedemikian bertentangan dengan eksistensi Allah yang Maha tahu, Maha kuasa, dan Maha baik, sehingga Allah seakan-akan perlu dibenarkan . Perlu diperhatikan bahwa kalau Allah tidak dapat menciptakan alam dan manusia tanpa membuka kemungkinan terjadinya keburukan, kejahatan dan dosa, hal itu tidak berarti bahwa Allah tidak mahakuasa. Allah tidak akan intervensi untuk mencegah keburukan, penderitaan, kejahatan, dan dosa yang secara hakiki menjadi mungkin dengan alam raya seperti itu . Seperti dalam kisah-kisah biblis, bahwa Allah tentu bisa saja mencegah agar Daniel tidak dimasukkan dalam gua singa (Dan 6: 16-23), mencegah agar Yeremia tidak masuk dalam perigi (Yer 38: 6), dan mencegah agar Paulus tidak mengalami karam Kapal tiga kali (2 Kor 11:25), tetapi Allah tidak melakukannya. Allah membiarkan masalah-masalah tersebut terjadi, dan sebagai hasilnya setiap orang tersebut ditarik lebih dekat kepada Allah. Maka dapat disimpulkan, bahwa bencana-bencana alam, penderitaan, kejahatan-kejahatan sering menghampiri kita karena secara kodrat kita adalah makhluk berdosa, sehingga memiliki kemungkinan untuk menderita.
Oleh karena itu, Jalan yang terbaik untuk memahami Dia yang kita imani dengan segala persoalan-persoalan yang terjadi adalah melalui jalan penderitaan Yesus di salib (Ibr 12:2). Pemahaman akan penderitaan Yesus, menjadi tolak ukur bagi kita untuk semakin memahami keberadaan-Nya di tengah dunia. Manusia harus bergantung pada alam dalam arti positif, karena semakin kita bergantung pada alam maka kita pun semakin bergantung pada Tuhan yang memberi daya dan menunjang kehidupan kita. Meskipun penderitaan atau bencana-bencana yang dialami tak dapat disangkal. Salib Kristus berarti bahwa Tuhan sendiri ikut menghadapi kemalangan dunia dan kejahatan manusia. Iman mencari dasar kekuatannya dalam solidaritas Allah dengan manusia, sebab penderitaan adalah beban yang tidak dapat dimengerti, namun harus dihadapi. Penderitaan Yesus di salib dimaknai bagi kita sebagai penderitaan yang membahagiakan, karena kita akan diberi jaminan keselamatan yang berpangkal pada iman, harapan, dan kasih (Yer 29: 13-14).
Komentar
Posting Komentar